Unitomo Surabaya Gagas “Desa Mandira”: Wujudkan Desa Mandiri, Inovatif, dan Sejahtera Berbasis SDM Lokal

Surabaya, Jawa Timur – Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya meluncurkan sebuah inovasi program pemberdayaan desa bernama Desa Mandira. Program ini tidak hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga pada perubahan pola pikir (mindset) masyarakat desa agar menjadi lebih mandiri, inovatif, dan mampu mendorong kesejahteraan dari dalam. Konsep ini diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan baru di Indonesia.
Tiga Pilar Utama Desa Mandira: Kemandirian, Inovasi, Kesejahteraan
Dr. Priyo Utomo, M.M., Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Unitomo, menjelaskan bahwa Desa Mandira adalah sebuah gagasan yang bertumpu pada tiga pilar utama: kemandirian, inovasi, dan kesejahteraan.
“Kemandirian itu menunjuk pada keswadayaan yang didorong muncul dari warga desa itu sendiri,” ujar Dr. Priyo dalam podcast “Ruang Informasi” Unitomo.
Ia menambahkan bahwa program ini bertujuan untuk mentransformasi desa dari tidak mampu menjadi mampu, dari skala kecil menjadi besar, dan dari pertumbuhan ekonomi rendah menjadi tinggi. Pendekatan utama adalah pengembangan sumber daya manusia (SDM) lokal, bukan padat modal atau infrastruktur semata.
Inovasi, sebagai pilar kedua, diharapkan dapat mempermudah, mempercepat, dan mempercantik proses pemberdayaan, dengan tujuan akhir mencapai kesejahteraan yang sesungguhnya dirasakan oleh masyarakat, bukan hanya kemajuan fisik yang membuat mereka justru pindah ke kota.
Perbedaan dengan Program Pemberdayaan Lain: Fokus pada SDM Lokal dan Kurikulum Berdampak
Program Desa Mandira yang telah diinisiasi selama tiga tahun ini memiliki perbedaan mendasar dengan program desa lainnya, seperti Desa Tangguh Bencana atau Desa Siaga. Dr. Priyo menegaskan bahwa Desa Mandira didesain secara menyeluruh dan berpusat pada SDM lokal.
“Yang membedakan lagi, mereka (mahasiswa pendamping) lebih lama tinggal karena mereka sesungguhnya adalah warga lokal yang ada di situ, yang kebetulan kuliah di Unitomo,” jelas Dr. Priyo.
Hal ini berbeda dengan pendekatan sebelumnya di mana mahasiswa dari luar wilayah datang, memberikan pencerahan, lalu pergi, yang kerap membuat semangat masyarakat berkurang.
Unitomo juga menerapkan kurikulum berdampak dalam program ini, dengan dua model utama:
- Taruna Desa: Berbasis peningkatan kapasitas aparatur desa dan lembaga pendukung seperti BUMDes.
- SPADA (Sekolah Pariwisata Desa): Fokus pada pengembangan desa wisata.
Mahasiswa dibebani target terapan setiap semesternya, mulai dari peningkatan kapasitas IT hingga tata kelola keuangan, sesuai dengan kebutuhan spesifik desa.
“Ini basicnya kurikulum dan nampak perkembangan setiap semesternya,” tambah Dr. Priyo.
Kolaborasi Multidisiplin dan Multi-Pemangku Kepentingan: Mengembangkan Potensi Desa

Dr. Wiwik Harwiki, M.M., Direktur Pusparcraft Unitomo, menambahkan bahwa program Desa Mandira juga sangat konsen pada pariwisata desa dan ekonomi kreatif. Ia menekankan bagaimana wisatawan dapat dilibatkan dalam pengelolaan lingkungan dan pelestarian nilai-nilai lokal, bahkan dalam upaya ekowisata seperti pengelolaan sampah.
Kolaborasi menjadi kunci sukses program ini. Dr. Priyo menyebut adanya kerja sama dengan Kementerian Desa, dan harapan besar untuk sinergi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim).
“Saya membayangkan ini sebuah kolaborasi yang sangat dahsyat,” ungkapnya.
Unitomo juga telah berhasil mengembangkan sistem inovatif seperti SisCordes (Sistem Komunikasi Desa), sebuah sistem penanganan bencana berbasis komunitas yang diinisiasi Unitomo dan berhasil dipresentasikan di konferensi internasional pasca-tsunami Aceh. Sistem ini kini sudah bisa diunduh di Play Store.
“Ini memang memerlukan tidak hanya multi-stakeholders tapi multi-disciplin,” tambah Dr. Wiwik, menjelaskan bahwa pelibatan akademisi dan praktisi dari berbagai bidang ilmu memperkaya pendekatan pemberdayaan.
Tantangan dan Keberlanjutan: Membangun Psikologis Kemandirian
Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi program Desa Mandira adalah mengubah pola pikir masyarakat yang cenderung membutuhkan contoh konkret (role model). Ketika sebuah inovasi berhasil ditunjukkan, barulah masyarakat berbondong-bondong ingin belajar.
“Rata-rata di desa itu butuh contoh, butuh role model,” kata Dr. Priyo.
Ia juga menyoroti kelelahan masyarakat dan potensi desa yang dianggap tidak memiliki potensi. Solusinya adalah pendekatan inter-desa development atau pengembangan antardesa, di mana desa-desa saling berbagi potensi ekonomi dan tidak hanya fokus pada potensi individual.
“Pendekatan berbagi berkah harus dilakukan dengan pendekatan inter-desa dalam development mereka sendiri,” ujarnya, memberikan contoh kasus sengketa wisata di Gresik yang terjadi karena ketidakmampuan berbagi berkah pariwisata.
Mengenai keberlanjutan, program ini dirancang dengan sistem overlap antarangkatan mahasiswa, sehingga pendampingan akan terus berjalan. Namun, tujuan akhirnya adalah agar masyarakat desa bisa mandiri sepenuhnya dan menyatakan “sudah, kamu jangan pantau saya, saya mau bangkit sendiri.”
“Ini justru kami menyebutnya sebagai pemberdayaan psikologis, ini jauh lebih menarik,” pungkas Dr. Priyo.
Ia meyakini bahwa perubahan mental untuk bangkit dan melawan keadaan jauh lebih berharga daripada bantuan materi semata.
Dengan prestasi Jawa Timur yang memiliki 19 Desa Mandiri hingga 2024—tertinggi secara nasional—program Desa Mandira Unitomo diharapkan dapat menjadi katalisator bagi lebih banyak desa untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan, mengubah mindset masyarakat, dan membangun desa dari potensi lokalnya sendiri.
Penulis: Firnas Muttaqin