SURABAYA, JAWA TIMUR – Ketahanan keluarga di Jawa Timur menghadapi tantangan serius di tengah kompleksitas kehidupan modern. Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Hikmah Bafaqih, dalam podcast PODSS Suara Surabaya, menegaskan bahwa keluarga merupakan fondasi utama bagi kesehatan mental dan kesejahteraan masyarakat, bahkan negara. Namun, data dan fenomena sosial menunjukkan adanya kerentanan yang mengkhawatirkan.


Keluarga: Validator Nilai dan Pencegah Trauma Anak

Hikmah Bafaqih menyoroti peran keluarga sebagai validator utama terhadap informasi dan nilai yang diterima anak-anak, baik dari sekolah maupun tempat mengaji.

“Informasi-informasi baik di sekolah, di tempat ngaji itu kan butuh validasi, Mbak. Dan anak-anak, validasi utamanya itu dari keluarga,” ujarnya.

Inkonsistensi antara nilai yang diajarkan di luar rumah dan perilaku di dalam rumah dapat menyebabkan kebingungan hingga trauma bagi anak.

Ia juga mengingatkan orang tua agar tidak “memanggungkan masalah” keluarga di media sosial. Jejak digital yang terekam dapat diakses kembali oleh anak di masa depan, dan berpotensi memicu trauma yang tersembunyi.

“Respons anak itu tidak langsung, Mbak. Tapi dia akan menyimpan dalam pikirannya. Segala macam keburukan relasi orang tuanya itu dia simpan, dan suatu saat akan menjadi trauma,” jelas Hikmah.

Hikmah Bafaqih, Anggota Komisi E DPRD Jatim.

Definisi Ketahanan Keluarga: Mengelola Masalah, Bukan Tanpa Masalah

Sebagai praktisi dan pemerhati isu perempuan dan anak sejak 2010, Hikmah mendefinisikan ketahanan keluarga sebagai kemampuan untuk mengelola persoalan, baik dari dalam maupun luar, dengan memanfaatkan sumber daya internal yang dimiliki.

“Keluarga yang berketahanan itu bukan keluarga yang tanpa masalah,” tegasnya.

Menurutnya, setiap keluarga pasti memiliki tantangan. Yang membedakan adalah kesadaran dan kemampuan mereka dalam merespons serta mengelola masalah tersebut. Bahkan, jika diperlukan, bantuan pihak ketiga bisa menjadi bagian dari solusi.


Data Mengkhawatirkan: Perceraian, Pernikahan Anak, dan Fatherless

Data kuantitatif menunjukkan gambaran suram ketahanan keluarga di Jawa Timur:

  • Jumlah perceraian di Jawa Timur mencapai 79.248 kasus pada tahun 2024.
  • Kasus dispensasi pernikahan anak (usia di bawah 19 tahun) mencapai 12.334 kasus, belum termasuk pernikahan siri yang tidak tercatat.
  • Indonesia menempati posisi ketiga tertinggi di dunia dalam jumlah anak tanpa ayah (fatherless), baik secara fisik maupun peran fungsional.

Fenomena ini berkaitan erat dengan peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kriminalitas anak. Hikmah menyebut banyak pelaku KDRT yang pernah tumbuh dalam keluarga bermasalah, menandakan adanya siklus kekerasan yang terus berulang.


Pekerja Migran dan Dilema Ketahanan Keluarga

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan jumlah pekerja migran tertinggi. Menurut Hikmah yang mengelola Yayasan Kopatara (Komunitas Perempuan dan Anak Nusantara), terdapat tingginya angka gugat cerai serta pola pengasuhan yang keliru di kalangan keluarga pekerja migran.

“Tradisi bekerja ke luar negeri itu memang terbangun sejak awal, Mbak,” ujarnya.

Ia mengusulkan moratorium bagi ibu yang masih memiliki anak kecil untuk menjadi pekerja migran, serta mendorong pengiriman pekerja yang belum menikah atau telah memiliki keterampilan khusus.


Solusi: Bukan Sekadar Regulasi, Tapi Edukasi Menyeluruh

Komisi E DPRD Jatim telah merumuskan regulasi seperti Perda Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Namun, menurut Hikmah, respons pemerintah terhadap ketahanan keluarga masih minim, terutama karena kecilnya dukungan anggaran untuk kementerian terkait seperti Kemen PPPA.

“Saya lebih sepakat untuk menguatkan edukasi,” ujarnya.

Perubahan perilaku tidak hanya bisa dihasilkan melalui regulasi yang ketat, tetapi melalui edukasi berkelanjutan. Program seperti sekolah orang tua dan kelas parenting dinilai penting untuk membangun fondasi keluarga yang kuat.

Hikmah juga menekankan pentingnya membangun waktu yang panjang dan berkualitas antara orang tua dan anak, bukan sekadar “quality time” yang singkat. Ia menyarankan agar orang tua LDR (Long Distance Relationship) menjelaskan situasi mereka dengan jujur kepada anak dan meminta maaf karena telah “mencabut hak” anak untuk tumbuh bersama orang tuanya.


Kesimpulan

Ketahanan keluarga yang kuat adalah pondasi bagi terciptanya masyarakat yang sehat dan negara yang kokoh. Namun, upaya ini memerlukan kesadaran kolektif dari setiap keluarga, didukung oleh kebijakan publik dan edukasi yang memadai.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri