Catatan Kecil Kisah Haji Dr Eko S Machfur:Perjuangan dan Dilema Petugas Kesehatan Haji

Perjalanan haji adalah impian setiap Muslim, sebuah ibadah fisik dan spiritual yang menuntut stamina dan kesabaran. Namun, di balik lautan jamaah yang khusyuk, ada para pahlawan tak terlihat yang memastikan keselamatan dan kesehatan mereka: para Petugas Kesehatan Haji (PKH). Pengalaman Dr. Eko S. Machfur, petugas kesehatan haji dari Kloter Kabupaten Pasuruan pada tahun 2025, memberikan gambaran mendalam tentang tantangan, dedikasi, dan bahkan dilema yang dihadapi para garda terdepan kesehatan di Tanah Suci. (20/7/2025)
Dr. Eko mengawali ceritanya dengan sorotan pada perubahan kebijakan penempatan tenaga kesehatan di kloter haji. Jika dulu satu kloter mendapat jatah satu dokter dan dua perawat, kini hanya satu dokter dan satu perawat. Kebijakan yang lebih ketat ini tentu menambah beban kerja dan tanggung jawab, terutama mengingat jumlah jamaah haji dari Kabupaten Pasuruan yang mencapai 1.300 lebih dan terbagi dalam tujuh kloter. Ini berarti setiap tim kecil harus siap siaga menghadapi berbagai situasi medis dengan sumber daya yang lebih terbatas.
Salah satu kejadian menarik yang dibagikan Dr. Eko adalah kasus seorang jamaah yang tiba-tiba pingsan di area Haram. Kecepatan penanganan di sana sangat krusial, dan untungnya, respons dari fasilitas kesehatan setempat cukup cepat. Namun, pengalaman ini menyoroti dinamika lain: lokasi basecamp petugas kesehatan. Dr. Eko dan rekannya harus bersiaga di hotel yang jaraknya sekitar 30 km dari lokasi keramaian. Hal ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam merespons kejadian darurat secara cepat, meskipun koordinasi dengan fasilitas medis setempat berjalan baik. Jamaah haji, yang berasal dari berbagai KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) dan memiliki agenda kegiatan sendiri, membuat petugas lebih sering bersiaga di hotel, menanti panggilan darurat.
Bagian yang paling mencolok dari pengalaman Dr. Eko adalah terkait dilema etika dan celah dalam sistem keberangkatan haji. Ia menyinggung adanya “kenakalan” oknum jamaah atau bahkan permainan antara KBIH dan pihak berwenang. “Loro jantung dilolosno, loro ginjel dilolosno, hamil dilolosno,” ujarnya, menggambarkan bagaimana jamaah yang sebenarnya tidak layak secara kesehatan (misalnya menderita penyakit jantung, ginjal, atau sedang hamil) bisa lolos verifikasi dan berangkat haji. Bahkan, ada kasus jamaah yang sampai melahirkan di Mekah dan menjadi viral. Ini menunjukkan adanya “pemalsuan” data kesehatan atau pelanggaran prosedur demi keberangkatan haji, yang pada akhirnya menempatkan jamaah itu sendiri dan juga petugas kesehatan dalam risiko besar.
Dr. Eko menceritakan salah satu kasus yang paling membekas: seorang jamaah dengan gagal ginjal yang berhasil lolos. Meski sudah dinasihati dan mendapatkan perawatan, tiga hari sebelum jadwal kepulangan, kondisi jamaah tersebut memburuk dan harus dirujuk ke rumah sakit. Akibatnya, Dr. Eko dan rombongan harus pulang lebih dulu, sementara jamaah tersebut tertinggal sendirian di Tanah Suci tanpa pendamping dari keluarga atau kloter. Situasi ini bukan hanya memilukan, tetapi juga menegaskan beban moral yang ditanggung petugas ketika menghadapi konsekuensi dari pelanggaran prosedur yang terjadi di awal.
Pengalaman Dr. Eko S. Machfur memberikan gambaran yang transparan tentang kompleksitas tugas petugas kesehatan haji. Mereka bukan hanya melayani aspek medis, tetapi juga menghadapi tantangan logistik, koordinasi, dan bahkan dilema etika yang muncul dari celah-celah sistem. Kisah ini adalah pengingat akan dedikasi luar biasa para PKH yang berjuang di tengah keterbatasan, sekaligus seruan untuk perbaikan sistem verifikasi kesehatan haji demi keselamatan dan kesejahteraan seluruh jamaah. Keberhasilan ibadah haji bukan hanya ditentukan oleh kekuatan fisik dan iman jamaah, tetapi juga oleh kerja keras dan pengorbanan para petugas yang rela berkorban demi melayani tamun-tamu Allah. (*)
Penulis: Firnas Muttaqin