Polemik Penyadapan Kejaksaan Agung: Kekhawatiran “Super Body” versus Akselerasi Penegakan Hukum

Surabaya – Nota kesepakatan antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan empat operator penyedia layanan telekomunikasi terkait penyadapan menjadi sorotan utama dalam dialog interaktif Radio Suara Surabaya pada Senin, 21 Juli 2025. Diskusi ini mengungkap pro dan kontra di kalangan pendengar dan pakar hukum, menyoroti kekhawatiran akan penyalahgunaan wewenang di satu sisi, dan urgensi akselerasi penegakan hukum di sisi lain.
Salah satu pendengar, Pak Wayan, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kesepakatan ini dapat menjadikan Kejaksaan Agung sebagai “lembaga super body” dengan kekuasaan yang sangat luas dan minim pengawasan. Kekhawatiran ini muncul karena Kejagung dinilai dapat melakukan penyidikan langsung tanpa perlu izin tambahan, yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga penegak hukum lain seperti KPK, Polri, BIN, BAKIN, dan BAIS, serta menciptakan konflik kelembagaan.
Senada dengan Pak Wayan, Wahyudi Jafar, peneliti isu kebijakan digital, juga menyatakan bahwa tindakan penyadapan tanpa regulasi yang jelas berpotensi melanggar hak privasi dan menjadi bentuk pengawasan massal. Isu perlindungan hak privasi warga negara, yang merupakan hak konstitusional, menjadi poin krusial yang diangkat, bahkan pernah menjadi perdebatan dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Tujuan Akselerasi Penegakan Hukum
Namun, ada pula pandangan yang mendukung langkah Kejagung. Mereka berargumen bahwa kerja sama ini sangat krusial untuk akselerasi proses penyidikan, terutama dalam kasus kejahatan terorganisir (assault related crime) dan pencarian buronan atau DPO (Daftar Pencarian Orang). Dengan adanya kesepakatan ini, permintaan data dari operator telekomunikasi yang biasanya memakan waktu lama, kini bisa dipersingkat, memungkinkan intelijen kejaksaan untuk mendapatkan informasi A1 (akurat dan valid) dengan lebih cepat.
Pendengar lain, Pak Andi, secara lugas menyatakan dukungannya. “Kalau untuk mencari kebenaran melalui kejahatan… untuk bekerja-bekerja mencari bukti-bukti, itu kan memang harus seperti itu, menurut saya,” ujarnya. Ia meyakini bahwa intelijen kejaksaan memiliki kode etik yang kuat dan tidak akan mempublikasikan informasi pribadi yang tidak relevan dengan kasus.
Perlunya Kontrol dan Pengawasan Independen
Meskipun tujuan akselerasi penegakan hukum dianggap baik, kekhawatiran tentang potensi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan tetap menjadi sorotan utama. Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Prof. Dr. Pujiyono Suwadi, S.H., M.H., menegaskan bahwa penyadapan oleh Kejagung hanya dilakukan dalam konteks penegakan hukum pada tahap penyidikan, bukan sebagai bentuk pengawasan massal. Artinya, penyadapan hanya menyasar individu yang terindikasi terlibat kasus hukum.
Namun, kekhawatiran pendengar seperti Pak Ben Hajon dan Pak Wayan tetap relevan: siapa yang akan menjadi pengawas independen jika ada potensi penyalahgunaan wewenang, terutama jika dikhawatirkan digunakan untuk kepentingan politik, seperti kasus Watergate di Amerika Serikat yang mencuat di masa lalu? “Kekuasaan tanpa kontrol cenderung disalahgunakan,” tegas Pak Ben Hajon.
Diskusi ini menggarisbawahi tantangan kompleks di era digital, di mana kemajuan teknologi juga membuka celah bagi modus kejahatan yang lebih canggih, seperti pelaku yang sengaja membuang atau merusak ponsel untuk menghilangkan jejak, atau bahkan mengecoh pelacakan. Di sisi lain, intelijen penegak hukum juga semakin canggih dalam melacak dan mengumpulkan data, termasuk profil keluarga dan pola komunikasi.
Secara keseluruhan, dialog di Suara Surabaya ini merefleksikan kebutuhan akan keseimbangan antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak privasi warga negara. Meskipun langkah Kejaksaan Agung untuk mempercepat proses penyidikan didukung, urgensi adanya regulasi yang lebih tegas dan mekanisme pengawasan yang kuat dan independen menjadi kunci agar kewenangan ini tidak disalahgunakan dan tetap berada dalam koridor hukum serta etika.(*)
Penulis: Fim