Skandal Pengadaan Chromebook dan Ancaman ‘Generasi Hilang’: ICW dan Rhenald Kasali Soroti Bobroknya Tata Kelola Pendidikan

JAKARTA – Praktik korupsi di sektor pendidikan menjadi ancaman serius yang dapat melahirkan “generasi yang hilang” (the lost generation). Demikian peringatan keras yang disampaikan Guru Besar Manajemen Rhenald Kasali dan Plt. Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina, dalam sebuah diskusi mendalam yang terungkap dari siniar (podcast) terbaru mereka. Keduanya menyoroti skandal pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan sebagai cerminan kegagalan tata kelola yang berulang.
Rhenald Kasali menyatakan keprihatinannya mendalam terhadap korupsi di Kementerian Pendidikan yang dinilai tidak dapat dimaafkan, mengingat dampaknya yang masif terhadap masa depan bangsa. Ia mengkritik eksperimen pemerintah dalam menunjuk pemimpin sektor pendidikan yang “tidak mengerti pendidikan sama sekali,” yang justru berujung pada masalah tata kelola, sebuah isu yang akrab sejak krisis multidimensi 1998.
Kegagalan Malaysia yang Diulang di Indonesia
Almas Sjafrina dari ICW membeberkan hasil penelitian mereka yang menemukan beberapa kejanggalan dalam pengadaan Chromebook. Pertama, pengadaan ini dinilai tidak tepat dengan kebutuhan riil dunia pendidikan, terutama di tengah pandemi COVID-19. Kedua, pemilihan spesifikasi Chromebook dianggap tidak ideal karena perangkat ini berfungsi optimal dengan koneksi internet, sementara masalah pemerataan akses internet di Indonesia, khususnya di daerah pelosok dan 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), masih jauh dari tuntas.
Ironisnya, program digitalisasi pendidikan ini berjalan beriringan dengan program pemerataan internet yang justru terbelit kasus korupsi BTS di Kementerian Komunikasi dan Informasi. “Jangankan daerah 3T, di Kabupaten Bogor saja yang dekat Jakarta, masih banyak sekolah dengan infrastruktur tidak memadai,” ungkap Almas, memperkuat argumen bahwa kebutuhan dasar pendidikan seringkali terabaikan demi proyek digitalisasi besar-besaran.
Lebih lanjut, Almas mengungkapkan bahwa kasus pengadaan Chromebook di Indonesia mirip dengan pengalaman Malaysia yang menerapkan program serupa sejak 2013 namun menghentikannya pada 2019 karena dinyatakan gagal. “Gagal di Malaysia, lalu dieksperimenkan di Indonesia dan terjadilah skandal yang bisa kita lihat pada hari ini,” imbuhnya.
Dilema Guru dan Prioritas Anggaran yang Keliru
Diskusi juga menyinggung keluhan dari para guru terkait akses internet dan spesifikasi Chromebook yang menuntut konektivitas tinggi. Kekhawatiran muncul bahwa perangkat tersebut tidak akan terpakai karena ketiadaan internet atau minimnya panduan operasional. Para guru bahkan merasa ketakutan menerima bantuan ini karena khawatir menjadi masalah di kemudian hari.
PGRI, menurut Almas, telah lama menyuarakan bahwa kesejahteraan, profesionalisme, dan perlindungan guru harus menjadi prioritas utama. Mereka menyayangkan pengadaan TIK senilai triliunan rupiah yang terkesan “foya-foya,” padahal pemerintah belum menunaikan kewajiban konstitusional untuk membebaskan biaya pendidikan dasar. “Kita bukan kurang anggaran, tapi kita salah memprioritaskan mana yang harus dibelanjakan duluan dan bagaimana membelanjakannya,” tegas Almas.
Konflik Kepentingan dan Minimnya Transparansi
ICW mencium adanya dugaan konflik kepentingan dalam pengadaan Chromebook. Adanya grup diskusi yang dibentuk sebelum menteri dilantik, yang secara spesifik membahas program digitalisasi ini, menimbulkan pertanyaan tentang objektivitas pemilihan produk. Meskipun mekanisme pengadaan menggunakan e-purchasing melalui katalog elektronik, transparansi realisasi pengadaan masih sulit dilacak, meskipun Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2021 menyatakan bahwa informasi pengadaan dan dokumen kontrak adalah informasi publik.
Rhenald Kasali menyoroti pula minimnya komunikasi antara Kementerian dengan berbagai pihak, termasuk PGRI, NU, Muhammadiyah, dan Taman Siswa. “Hampir semua mengatakan kok kayaknya komunitas pendidikan ini dianggap bodoh semuanya. Padahal kita itu bergerak begitu lama di situ dan kita ingin membantu sebenarnya,” keluh Kasali, menunjukkan adanya diskoneksi dalam pembuatan kebijakan.

Pentingnya Kompetensi dan Integritas dalam Kepemimpinan Pendidikan
Sebagai penutup, Rhenald Kasali menekankan tiga prinsip utama dalam pengembangan teknologi pendidikan: solusi harus heterogen sesuai kondisi Indonesia, teknologi yang paling tepat adalah yang sudah ada dan dapat dimanfaatkan, serta teknologi tidak akan berguna tanpa kualitas sumber daya manusia (guru) dan proses pedagogi yang mumpuni (people-process-technology).
Keduanya menyerukan agar kasus ini menjadi pelajaran penting. “Tidakkah kita belajar dari kejadian ini?” tanya Rhenald Kasali, mempertanyakan relevansi mengangkat pemimpin tanpa kompetensi dan integritas di bidang pendidikan. Mereka menegaskan bahwa jika kegagalan pembangunan fisik dapat terlihat langsung, kegagalan di sektor pendidikan akan berujung pada munculnya “generasi yang hilang,” yang dampaknya jauh lebih merusak.
Sumber : https://youtu.be/zEpqbUnt7Dw?si=AWtC-4bW69wcMxgm
Penulis: Fim