Dalam konteks demokrasi modern, idealnya kekuasaan berada di tangan rakyat melalui wakil-wakil yang mereka pilih. Namun, di Negeri Awan, realitas politik justru berjalan berlawanan dengan cita-cita tersebut.

Ketika hak konstitusi rakyat dirampas oleh partai politik, siapapun pemimpin yang duduk di kursi kekuasaan akan terkungkung dalam jerat kepentingan partai, hingga tak mampu menjalankan amanat rakyat secara sesungguhnya.

Demokrasi yang seharusnya menjadi sistem pemerintah yang mewakili suara rakyat pun berubah menjadi sekadar seremonial tanpa kekuatan untuk memperjuangkan kemajuan bangsa.

Partai Politik: Pelindung atau Pembegal Hak Rakyat?

Partai politik dalam sistem demokrasi seharusnya menjadi jembatan penghubung antara rakyat dengan pemerintahan—mewakili aspirasi rakyat dan mendukung kebijakan yang berpihak pada kepentingan umum. Namun, kenyataannya di Negeri Awan, beberapa partai justru bertindak sebagai penjaga kepentingan segelintir elit, bukan suara mayoritas pemilih.

Mereka menguasai struktur partai dan menggunakan pengaruhnya sebagai alat negosiasi politik, menjadikan pemimpin negeri seperti boneka dalam permainan kekuasaan.

Bila partai memegang kendali mutlak dalam memilih dan mengikat kebijakan pemimpin, maka proses demokrasi menjadi buntu. Tak ada ruang bagi pemimpin untuk mengejar kebijakan yang berani dan inovatif jika bertentangan dengan kehendak partai. Ini bukan hanya soal politik praktis, tapi soal hancurnya nilai demokrasi itu sendiri.

Demokrasi Formal, namun Demokrasi Mati Rasa

Fenomena “demokrasi hanya di pucuk lidah” ini tidak asing terjadi di banyak negara, termasuk Negeri Awan. Dalam balutan aturan formal dan pemilu rutin, sesungguhnya demokrasi telah kehilangan maknanya. Pemilihan umum menjadi ajang pencitraan dan transaksi politik, bukan murni pilihan rakyat. Rakyat boleh memberikan suara, tetapi pilihan langsung mereka justru tak menentukan arah kebijakan negara.

1 2

Penulis: Ekowin

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri