Tugu Tirta Kota Malang Lakukan Pengerukan Sungai Wendit Setelah 12 Tahun

MALANG – Perumda Air Minum Tugu Tirta Kota Malang kembali mengambil langkah strategis dengan melakukan pengerukan di Sungai Wendit, salah satu sumber air vital bagi Kota Malang. Pengerukan ini menjadi sorotan karena merupakan upaya pemeliharaan pertama yang dilakukan setelah 12 tahun lamanya.
Diskusi interaktif di Radio Cityguide Malang pada Jumat (15/8/2025) menghadirkan Direktur Utama Perumda Air Minum Tugu Tirta Priyosudibio, Direktur Teknik Muhammad Fauzan Indrawan, Guru Besar Teknik Pengairan Universitas Brawijaya (UB) Prof. Dr. Ir. Muhammad Bisri, dan Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Malang Dito Arief Nur Rahmadi. Mereka membahas latar belakang, teknis pelaksanaan, hingga aspek regulasi dari pengerukan Sungai Wendit ini.
Alasan Pengerukan dan Dampak Lingkungan
Priyosudibio, yang akrab disapa Pak Priyo, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil setelah mengidentifikasi berbagai masalah di Sungai Wendit. “Kami menemukan bahwa sudah 12 tahun tidak ada pengerukan yang memadai. Bahkan ada tanaman sawi tumbuh di atas sungai karena volume air hanya sekitar 20 cm, sementara lumpur di bawahnya mencapai 2 meter,” terangnya.
Kondisi tersebut menyebabkan beberapa dampak serius:
- Air Keruh: Endapan lumpur yang tebal membuat air menjadi keruh saat hujan, mengganggu kualitas air baku.
- Sumber Air Tidak Optimal: Sumber-sumber air yang tertutup sedimen lumpur tidak berfungsi maksimal.
- Banjir Berulang: Terjadi banjir setiap 4-5 tahun, bahkan sempat menenggelamkan pos pompa Tugu Tirta.
Pengerukan ini dilakukan berkat inisiasi dan lobi Tugu Tirta kepada Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas. “Ini gratis, karena kami membayar iuran pemeliharaan SDA sekitar Rp 500 juta per bulan,” kata Priyo. Warga Desa Mangliawan, yang terdampak langsung, juga memberikan dukungan luar biasa dengan menyediakan 20 titik penampungan lumpur hasil pengerukan.
Proses Teknis dan Harapan Pasca-Pengerukan
Direktur Teknik Muhammad Fauzan Indrawan menjelaskan bahwa proses pengerukan menggunakan dua alat berat (satu di air dan satu di darat) dan dilakukan secara bertahap untuk menjaga kejernihan air. “Pengerukan dilakukan sedalam 1,5 meter hingga batas padas, dan kami perkirakan akan memakan waktu 1,5 hingga 2 bulan,” jelasnya.
Setelah pengerukan selesai, Tugu Tirta akan berupaya menormalkan kembali aliran sungai agar flora dan fauna dapat tumbuh. Diharapkan, air dari Sungai Wendit dapat kembali dimanfaatkan masyarakat untuk keramba, hidroponik, hingga menjadi destinasi wisata baru dengan adanya warung kopi dan perahu di pinggir sungai.
Tanggapan Akademisi dan Legislatif
Guru Besar Teknik Pengairan UB, Prof. Bisri, mengapresiasi langkah Tugu Tirta. Ia menyoroti perubahan undang-undang sumber daya air dari tahun 2004 (revisi 2019) yang kini memprioritaskan konservasi sumber daya air sebelum pendayagunaan. “Apa yang dilakukan Tugu Tirta sudah tepat, yaitu memulai dari konservasi, walaupun informasinya sudah sangat terlambat,” tegasnya.
Namun, Prof. Bisri juga mempertanyakan isu kewenangan. “Siapa yang punya kewajiban memelihara kali Wendit ini? Apakah kewenangannya Tugu Tirta, BBWS, atau pemerintah daerah? Hal ini penting agar pemeliharaan rutin dan berkala dapat terus dilakukan dan tidak terulang lagi,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Malang Dito Arief Nur Rahmadi, menegaskan bahwa masalah ini adalah tanggung jawab bersama. “Kita harus berkolaborasi dengan BBWS, Tugu Tirta, pemerintah Kota Malang, masyarakat, dan akademisi. Pemeliharaan rutin harus dianggarkan dan menjadi komitmen bersama, tidak hanya dari Tugu Tirta,” pungkasnya.(*)
Penulis: Fim