MATARAM – Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mulai memperluas target penagihan royalti musik ke sektor perhotelan. Tidak hanya di restoran dan kafe, kini LMKN juga menagih royalti atas penggunaan televisi di kamar-kamar hotel, sebuah kebijakan yang memicu keberatan dari para pengusaha hotel.

Penagihan ini mulai diberlakukan per Juli 2025. Salah satu yang terdampak adalah Hotel Grand Madani di Mataram. General Manager hotel tersebut, Rega Fajar Firdaus, mengaku telah menerima tagihan royalti sebesar Rp4 juta. Angka ini dihitung berdasarkan fasilitas televisi yang tersedia di setiap kamar, meskipun fasilitas tersebut dianggap sebagai tambahan dan tidak dikomersialkan secara langsung seperti layaknya karaoke.


Ancaman Sanksi dan Skema Tarif

LMKN memberikan ancaman sanksi pidana penjara hingga 10 tahun dan denda Rp4 miliar bagi pihak hotel yang tidak kooperatif dalam membayar royalti. Namun, menurut Rega, skema perhitungan tarif yang diberlakukan LMKN dinilai masih simpang siur dan memberatkan.

“Cara perhitungan royalti musik di kamar hotel ini masih simpang siur. Ada hotel bintang satu dan kelas melati yang tidak ada TV di kamarnya, tetapi tetap dikenakan tagihan,” ungkap Rega.

Berikut adalah rincian tarif royalti musik tahunan yang ditetapkan LMKN untuk hotel:

  • Hotel Berbintang:
    • 1-50 kamar: Rp2 juta
    • 51-100 kamar: Rp4 juta
    • 101-150 kamar: Rp6 juta
    • 151-200 kamar: Rp8 juta
    • >200 kamar: Rp12 juta
  • Hotel Non-Bintang:
    • >60 kamar: Rp1 juta
  • Resor, Hotel Eksklusif, dan Butik:
    • Rp16 juta per tahun (tanpa jumlah minimum kamar)

Penagihan royalti ini tidak hanya mencakup kamar hotel, tetapi juga fasilitas publik lainnya, seperti ruang tunggu, kafe, restoran, spa, pusat kebugaran, kolam renang, ruang bermain anak, salon, toko, dan lift.


Perdebatan Hitung-hitungan Royalti

Rega menilai, LMKN seharusnya memperjelas dasar perhitungan royalti untuk televisi di kamar hotel. Selama ini, penggunaan televisi di kamar bukanlah objek komersial yang dijual terpisah.

Di sisi lain, pihak LMKN berpendapat bahwa setiap fasilitas yang dapat memutar musik, tanpa terkecuali, harus dikenakan royalti. Perbedaan pandangan ini menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha hotel, terutama terkait transparansi dan keadilan dalam skema penagihan. Hingga saat ini, belum ada kejelasan lebih lanjut dari LMKN mengenai bagaimana keluhan ini akan ditindaklanjuti. (*)

Penulis: Fim

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri