Di tengah derasnya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus menggulung berbagai lapisan masyarakat, realitas ekonomi rakyat semakin terjepit dalam tekanan berat yang hampir tak tertanggungkan. Dari pekerja pabrik yang kehilangan penghasilan, buruh harian lepas yang semakin sulit mencari nafkah, hingga pelaku usaha kecil yang menjerit di balik sepi pangsa pasar, kondisi ini menggambarkan gambaran kelam yang membutuhkan perhatian ekstra dan aksi nyata dari pemerintah serta lembaga legislatif.
Sementara jutaan rakyat bergelut dengan ketidakpastian ekonomi, pergulatan hidup yang diselimuti kecemasan akan masa depan, dan perjuangan mempertahankan keluarganya, ada fakta mengejutkan yang muncul: tunjangan dan fasilitas pejabat DPR justru mengalami peningkatan. Hal ini bukan hanya menciptakan jurang yang semakin lebar antara penguasa dan rakyat, tetapi juga menimbulkan resonansi ketidakadilan sosial yang membara dalam benak masyarakat.
Ketika seorang pekerja kehilangan pekerjaan, frasa “naik tunjangan DPR” menjadi simbol kesenjangan yang menohok. Rakyat yang dengan susah payah harus memutar otak demi memenuhi kebutuhan pokok mendapati bahwa wakil mereka mendapatkan fasilitas yang dianggap tidak lagi proporsional. Ini bukan sekedar masalah fiskal, melainkan soal etika dan keadilan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kondisi ekonomi yang sulit, dengan inflasi yang kian melambung, harga kebutuhan pangan dan energi yang menanjak tajam, menuntut adanya kepedulian yang lebih mendalam dari para pemimpin. Angka-angka statistik terkait tunjangan yang semakin membengkak bagai lukisan abstrak yang jauh dari realitas keseharian rakyat. Di saat yang sama, luka sosial akibat PHK, ketidakpastian status pekerjaan, dan tekanan finansial keluarga semakin nyata dan menyayat nurani.
Ketimpangan ini jika dibiarkan berlarut akan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara. Masyarakat tidak sekadar ingin didengar, melainkan menginginkan perubahan yang nyaris nyata dan konkret. Mereka menginginkan pemerintah yang peka, yang hadir bukan hanya dalam jargon-jargon resmi, tetapi dalam aksi lapangan yang membumi.
Naiknya tunjangan DPR di saat ekonomi rakyat merana juga mengancam hubungan sosial yang selama ini menjadi perekat bangsa. Kesenjangan yang melebar dapat memicu rasa iri, frustasi, bahkan kemarahan yang berujung pada polarisasi dan disintegrasi sosial. Karena itu, bukan hanya soal angka, melainkan soal prinsip keadilan yang harus dijunjung tinggi.
Penulis: Ekowin