Banjir Setiap Tahun: Bencana Alam Atau Bencana Manusia?

Tangkap citra dari ketinggian ketika banjir

Artikel Opini : Bukan hujan yang salah, bukan pula alam yang murka. Tapi bagaimana jika kita lah penyebab banjir itu sendiri?
Setiap musim hujan, banjir seakan menjadi tamu yang tak diundang, datang lebih cepat dan lebih hebat dari sebelumnya.

Fenomena ini bukan sekadar bencana musiman, melainkan tanda nyata dari krisis iklim yang semakin mengancam. Dari kota besar hingga desa terpencil, kita semakin menyaksikan bagaimana perubahan iklim membanjiri hidup kita, mengubah lanskap dan menghancurkan infrastruktur yang sudah rapuh.

Setiap tahun, bencana alam yang semakin sering dan intens menjadi bukti tak terbantahkan bahwa kita sedang menghadapi krisis iklim yang tak bisa lagi dianggap sebagai masalah jauh di masa depan.
Banjir bukanlah fenomena baru bagi manusia, namun dampak nya yang terus berulang seolah menjadi pengingat bahwa persoalan ini belum tertangani dengan serius.

Setiap kali hujan deras mengguyur, kekhawatiran mulai merayap dibenak kita, kita pasti akan bertanya-tanya: apakah air akan naik lagi kali ini?

Sebagai contoh nyata, beberapa hari yang lalu di Kerinci, Jambi telah terjadi banjir yang mengakibatkan banyak dampak buruk bagi masyarakat kala itu, seperti tertutup nya akses jalan serta putusnya jembatan Tamiai kecamatan Merangin yang merupakan akses jalan Bangko- Kerinci. Hal itu mengakibatkan banyak masyarakat mengeluh.

Fakultas ekonomi dan bisnis prodi Akuntansi Universitas Jambi, Olivia Vallenzia

Lalu, siapa yang harus disalahkan? Pemerintah, pengembang properti, ataukah kita sebagai individu? Jawabannya tidak sesederhana itu. Banjir adalah akibat dari ketidakseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan kelestarian alam. Pemerintah perlu hadir dengan kebijakan yang tegas dan berbasis pada keberlanjutan, sementara masyarakat juga harus sadar untuk tidak hanya mengandalkan pembangunan fisik, tetapi juga membangun kesadaran ekologis.

Kita seringkali menyalahkan curah hujan lebat sebagai biang keladi banjir, namun mari kita jujur, hujan hanyalah pemicu, bukan penyebab utama. Penyebab sejatinya terletak pada kebiasaan kita sendiri. Sampah yang menumpuk di selokan atau sungai-sungai, kurangnya penanaman pohon, atau bahkan pembangunan yang mengorbankan daerah resapan air, dan masih banyak lagi kebiasaan buruk kita yang dapat menyebabkan banjir. Maka dari itu penting bagi kita untuk memiliki kesadaran yang tinggi terhadap alam dan lingkungan sekitar kita.

Di balik genangan air yang menenggelamkan jalan, ada cerita tentang perencanaan kota yang acak-acakan, tentang pemanfaatan lahan yang tidak ramah lingkungan dan tentang ketidakpedulian yang terus berkembang. Alih-alih membangun kota yang tangguh terhadap bencana, kita malah membangun kota yang semakin rentan.

Banjir bukan hanya soal properti yang rusak atau jalanan yang macet. Lebih dari itu, banjir juga merampas rasa aman. Bayangkan anak-anak yang tak bisa sekolah karena kelas mereka terendam atau pedagang kecil yang kehilangan penghasilan. Banjir tak peduli siapa korbannya, ia merenggut, memporak-porandakan dan meninggalkan bekas luka yang tak mudah sembuh.

Mengutip dari badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat, pada jumat (22/11) telah terjadi banjir bandang yang menerjang hingga tiga kecamatan di kabupaten Lima Puluh Kota, satu orang dinyatakan meninggal dunia setelah terseret arus sejauh 10 kilometer dari lokasi bandang dan satu orang lagi masih dalam pencarian tim SAR, sebanyak delapan unit rumah rumah warga rusak diterjang banjir dan satu unit ambulan desa hanyut terbawa arus, sebagian warga mengungsi ke daerah yang tidak terdampak banjir.

Berdasarkan prakiraan cuaca BMKG, hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi masih terjadi hingga beberapa hari ke depan, warga diminta waspada terhadap banjir susulan maupun longsor.

Peristiwa ini menggugah kita untuk merenung, sudahkah kita belajar dari bencana-bencana serupa di masa lalu, atau kita terus terperangkap dalam siklus yang sama?

Banjir adalah masalah besar yang harus ditangani secara serius oleh seluruh elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat itu sendiri. Penyebab banjir di Indonesia tidak hanya berasal dari faktor alamiah, tetapi juga akibat kesalahan manusia dalam pengelolaan lingkungan.

Oleh karena itu, kita perlu memiliki solusi yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mengurangi dampak banjir. Menghadapi tantangan banjir di masa depan, kita harus bersatu untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berkomitmen terhadap pembangunan yang ramah lingkungan demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Setiap tahun, banjir datang menghantui, membawa dampak yang merugikan bagi ribuan warga. Namun, apakah kita hanya akan terus pasrah? Tentu tidak! Saatnya kita bergerak bersama untuk mencari solusi yang lebih konkret dan berkelanjutan.

Sudah saatnya pemerintah mempercepat program normalisasi sungai dan saluran drainase. Pembersihan sampah yang menghambat aliran air harus dilakukan secara rutin, bukan hanya ketika musim hujan datang.

Saya juga menyarankan agar teknologi terkini digunakan dalam memantau dan mengelola sungai, seperti pemasangan sensor untuk mendeteksi kadar sampah dan aliran air, sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan lebih cepat.

Namun, tanggung jawab tidak hanya ada di pundak pemerintah. Masyarakat juga harus lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Bayangkan jika setiap warga kota mau ikut serta dalam gerakan “adopsi saluran drainase”, membersihkan saluran air di depan rumah mereka. Hal ini mungkin terdengar sederhana, namun dampaknya akan luar biasa. Kita harus sadar bahwa kebersihan lingkungan adalah kunci utama dalam mencegah banjir.

Selain itu, kita harus merancang kota dengan lebih bijak. Alih-alih membangun di daerah resapan air, kita bisa memperbanyak ruang terbuka hijau dan taman yang tidak hanya menambah estetika kota, tetapi juga berfungsi untuk menyerap air. Tanaman-tanaman hijau bukan hanya memperindah, tetapi juga dapat menjadi penyaring alami air hujan. Mari mulai berpikir bahwa setiap pohon yang kita tanam adalah investasi untuk masa depan.

Melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, saya yakin kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih tahan terhadap bencana banjir. Jangan tunggu sampai air menyapu kita. Saatnya bertindak sekarang, demi kota yang lebih aman dan nyaman untuk anak cucu kita.

Banjir adalah sebuah cermin. Ia menunjukkan seberapa jauh kita telah melupakan pentingnya beradaptasi dengan alam, dan seberapa jauh kita telah terjebak dalam ambisi pembangunan tanpa batas. Jika kita tidak mulai bertindak, kita akan terus terjebak dalam siklus yang tidak pernah berujung. Setiap kali air datang, kita akan terhempas oleh kenyataan bahwa kita sebenarnya lah yang telah menyebabkan banjir itu terjadi.

Sudah saatnya kita berhenti menjadi penonton dalam tragedi banjir yang berulang. Kita tak bisa terus menerus membiarkan kota kita tenggelam dalam air yang tak hanya merendam rumah, tetapi juga harapan. Banjir bukan takdir, melainkan hasil dari kelalaian dan ketidakpedulian kita. Maka, mari kita jadikan setiap tetes air yang meluap sebagai pemicu perubahan.

Dengan kerja keras, inovasi, dan kolaborasi, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih tangguh dan aman bagi generasi mendatang. Jangan tunggu banjir datang lagi untuk bertindak – waktunya adalah sekarang!”

Penulis: Olivia Vallenzia

Editor: Akasa Putra

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan