Jakarta, — Publik dikejutkan oleh isu viral di media sosial yang menyebutkan bahwa Indonesia disebut-sebut akan menyerahkan data pribadi warganya kepada Amerika Serikat sebagai bagian dari negosiasi penurunan tarif impor. Dari tarif 32% yang diturunkan menjadi 19%, dugaan barter data pribadi menjadi sorotan tajam.

Isu ini mencuat setelah Gedung Putih (White House) Amerika Serikat dikabarkan menyebutkan keterlibatan data lintas batas dalam kesepakatan dagang dengan Indonesia. Reaksi publik pun memanas, menuntut kejelasan pemerintah terkait legalitas dan keamanan data warga negara.

Dalam wawancara Liputan 6 (Rabu, 23/7/2025) bersama Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Catahu Policy Works, ditegaskan bahwa meski Indonesia mengadopsi kebijakan “free flow of data with conditions”, ada batasan tegas mengenai transfer data lintas negara, terutama yang menyangkut data publik dan data sensitif seperti data kesehatan.

“Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) Nomor 27 Tahun 2022 jelas mengatur bahwa data pribadi hanya bisa dipindahkan ke luar negeri dengan syarat tertentu, termasuk jaminan perlindungan yang setara,” kata Wahyudi.

Ia juga menyinggung bahwa hingga kini, Badan Perlindungan Data Pribadi (BPDP) yang diamanatkan UU PDP belum juga terbentuk. Kondisi ini menjadikan Indonesia belum memiliki otoritas resmi yang dapat menjalin kerja sama penegakan hukum dengan lembaga seperti Federal Trade Commission (FTC) di AS, jika terjadi pelanggaran atau kebocoran data.

Salah satu kekhawatiran utama, menurut Wahyudi, adalah potensi eksploitasi data karena Amerika Serikat hingga saat ini belum memiliki undang-undang perlindungan data pribadi di tingkat federal. Beberapa negara bagian seperti California memang memiliki peraturan ketat seperti California Consumer Privacy Act (CCPA), namun itu tidak bersifat nasional.

“Jika data warga Indonesia diproses di AS tanpa jaminan perlindungan hukum yang setara, maka subjek data kehilangan kendali atas informasi pribadinya,” tegasnya.

Lebih jauh, Wahyudi menyebut bahwa perjanjian internasional semacam ini seharusnya disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai amanat konstitusi. Ia mendorong DPR menggunakan hak bertanya untuk mengklarifikasi isi dan implikasi perjanjian tersebut kepada publik.

“Perlu dijelaskan apakah data yang dibahas dalam barter itu mencakup data yang dikelola pemerintah seperti data kependudukan dan kesehatan, atau hanya data dari sektor swasta,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia diminta segera memberikan penjelasan terbuka. Apalagi saat ini kekhawatiran publik meningkat menyusul lemahnya regulasi perlindungan data pribadi dan belum jelasnya implementasi UU PDP secara penuh.

Penulis: Fim

Penulis: Fim

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri