Biaya Hidup di Surabaya: Antara Realitas UMK dan Standar “Hidup Layak”

“Banyak UMKM-UMKM. Kalau di daerah Rungkut industri sini, beragam ada nasi Rp7.000, Rp6.000, yang paling ujung Rp5.000,” ungkap Pak Prabowo. Ia juga membandingkan Surabaya dengan Gresik dan Sidoarjo, yang menurutnya justru memiliki biaya makan yang lebih tinggi.
Senada dengan Pak Prabowo, Pak Hengki, seorang warga asli Surabaya, juga menyatakan bahwa pendapatan keluarga yang mencapai Rp9 juta per bulan sudah cukup untuk hidup layak. Ia berargumen bahwa biaya pendidikan hingga SMA sudah gratis, begitu pula dengan layanan kesehatan yang tercover oleh BPJS.
“Jadi hanya biaya makan,” kata Pak Hengki. Ia menambahkan, pengeluaran besar sering kali bukan disebabkan oleh kebutuhan dasar, melainkan gaya hidup dan cicilan, seperti mobil atau KPR.
Definisi “Hidup Layak” dan Tantangan Gaya Hidup**
Diskusi ini juga menyentuh definisi “hidup layak”, yang tidak hanya mencakup kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal yang aman, tetapi juga akses pada kesehatan, pendidikan, transportasi terjangkau, serta kemampuan untuk menabung dan berekreasi. Presenter Rastu Indah menyoroti bahwa standar “hidup layak” ini membutuhkan pengeluaran yang lebih besar dari UMK.
Pandangan ini didukung oleh pendapat Raka Yudistira, seorang pengamat sosial dan ekonomi, yang menyebut banyak warga perkotaan terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Mereka terdorong untuk membeli sesuatu bukan karena kebutuhan, melainkan karena tekanan sosial dan tren.
Meskipun biaya hidup tinggi, Surabaya tetap menjadi daya tarik bagi banyak orang. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah ada nilai-nilai sosial dan lokal yang membuat orang bertahan, atau bahkan memilih untuk pindah ke Surabaya, terlepas dari tantangan finansial yang ada. (*)
Penulis: Fim