Dampak Negosiasi Dagang AS-Indonesia: Peluang dan Tantangan di Tengah Perubahan Tarif Global

Misi Keseimbangan Perdagangan AS dan Ketergantungan Energi Indonesia
Kebijakan tarif AS yang diterapkan secara global bertujuan untuk menyeimbangkan neraca perdagangan mereka yang defisit. Dengan Indonesia, volume perdagangan mencapai sekitar 38 miliar dolar AS, di mana impor Indonesia dari AS hanya sekitar 10 miliar dolar AS, menyisakan surplus perdagangan sekitar 28 miliar dolar AS bagi Indonesia. Amerika Serikat menghendaki adanya “trade balance” melalui penerapan tarif 19% dan permintaan agar Indonesia membeli lebih banyak produk AS.
Indonesia merespons dengan membebaskan tarif (0%) untuk produk migas dan pangan dari AS. Khususnya untuk migas, Indonesia saat ini adalah importir bersih minyak mentah dan LPG. Sekitar 54% impor LPG Indonesia berasal dari AS, sisanya dari negara-negara seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait, dan Bahrain. Sementara minyak mentah diimpor dari Timur Tengah dan Afrika.
Negosiasi ini juga melibatkan komitmen Indonesia untuk membeli pesawat Boeing dari AS. Rencananya, Indonesia akan membeli hingga 50 unit pesawat Boeing, termasuk 20 unit Boeing 777-9 senilai sekitar 200 juta dolar AS per unitnya, serta 30 unit Boeing 737 seri terbaru dengan harga sekitar 100 juta dolar AS per unit. Total pembelian pesawat ini diperkirakan mencapai 8-10 miliar dolar AS.
Kemandirian Energi dan Tantangan Industri Manufaktur
Situasi ini memunculkan diskursus tentang “blessing in disguise” sekaligus potensi ketergantungan sistemik. Di satu sisi, pembebasan tarif migas dari AS dapat memperluas sumber pasokan energi Indonesia, terutama LPG yang sangat dibutuhkan untuk subsidi 3 kilogram. Ini mengurangi ketergantungan pada satu kawasan seperti Timur Tengah yang rentan gejolak.
Namun, ada kekhawatiran terkait dampak tarif 0% bagi produk-produk AS terhadap produk dalam negeri, khususnya di sektor pangan. “Jika semua dibanjiri impor, bagaimana dengan daya saing petani dan perkebunan kita?” tanya Sugeng, mengulang pertanyaan seorang pendengar yang ikut berinteraksi dalam diskusi.
Di sektor migas, walaupun impor LPG dari AS bebas tarif, ada persoalan teknis pengiriman yang memakan waktu sekitar 40 hari, jauh lebih lama dari Timur Tengah (2 minggu). Ini meningkatkan risiko dan biaya asuransi pengiriman hingga dua kali lipat.
Pentingnya kemandirian energi dan pangan tetap menjadi target utama pemerintah, namun konsumsi BBM terus meningkat sementara lifting minyak domestik terus menurun. Indonesia sangat mengandalkan sumur-sumur tua, dengan blok-blok baru yang cenderung menghasilkan gas daripada minyak.
Kondisi ini juga memicu kritik terhadap Undang-Undang Migas yang dianggap tidak menarik investor besar masuk ke sektor hulu. Pembahasan revisi UU Migas terus berlangsung di DPR, dengan harapan dapat menciptakan tata kelola yang lebih baik dan menarik investasi untuk eksplorasi dan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR).
Kekhawatiran juga muncul di sektor industri manufaktur, khususnya tekstil. Industri ini sangat bergantung pada bahan baku impor karena tidak memiliki hulu (kapas, rayon) dan hilir (industri petrokimia). Jika produk manufaktur lain dari AS juga mendapat tarif 0%, daya saing industri tekstil dalam negeri akan semakin terancam.
Secara keseluruhan, negosiasi dagang dengan AS menghadirkan peluang baru bagi Indonesia dalam diversifikasi pasokan energi dan peningkatan daya saing ekspor di pasar AS. Namun, di sisi lain, hal ini menuntut kehati-hatian dalam mitigasi dampak terhadap produk dalam negeri dan ketergantungan sistemik. (*)
Penulis: Fim