Analisis Gaya Komunikasi Presiden Prabowo: Antara Narasi Besar dan Realitas Lapangan

JAKARTA – Gaya komunikasi Presiden Prabowo Subianto yang lugas, ceplas-ceplos, dan kerap melontarkan pernyataan besar menjadi sorotan publik. Meskipun retorika ini seringkali memukau, banyak pihak mulai mempertanyakan keselarasan antara pidato sang presiden dengan implementasi di lapangan.
Menurut pengamat politik Ray Rangkuti, gaya komunikasi ini dapat dibaca sebagai “strategi populis” untuk menarik simpati rakyat. Namun, ia juga menyoroti bahwa pernyataan-pernyataan besar tersebut seringkali tidak sejalan dengan realitas yang terjadi.
Narasi Besar vs. Realitas Terbalik
“Lama-lama orang paham juga bahwa pidato-pidato itu lebih dari sekedar ungkapan besar, cerita besar, narasi besar. Tapi di lapangannya tidak terjadi apa-apa,” ujar Ray (Jumat, 25/7/2025). Ia menambahkan, setidaknya dalam setahun terakhir kepemimpinan Presiden, banyak narasi besar yang justru berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan.
Sebagai contoh, Ray menyebut janji untuk “mengejar koruptor sampai ke Antartika”. Namun, di saat yang sama, muncul pertanyaan publik tentang bersih atau tidaknya para menteri dalam kabinet, mengingat beberapa nama dikaitkan dengan kasus hukum namun tetap menjabat.
Isu lain yang disorot adalah perjanjian dagang dengan Amerika Serikat yang membuka akses luas bagi AS untuk data warga negara Indonesia dan eksplorasi sumber daya alam. Hal ini kontras dengan narasi “anti-asing” yang kerap digaungkan sebelumnya, menimbulkan reaksi negatif yang semakin besar dari publik.
“Orang mulai nih melihat fakta-fakta lapangannya yang enggak sebesar lah ya kalau menggunakan istilah para netizen itu enggak semacam yang diduga,” kata Ray.
Serakanomik: Kritik terhadap Keserakahan Ekonomi
Munculnya istilah “serakanomik” untuk menggambarkan keserakahan ekonomi yang terhubung dengan politik juga menjadi poin penting. Ray menyarankan agar Presiden Prabowo melakukan introspeksi di antara pendukung dan menterinya terkait keterlibatan mereka dalam bisnis yang tidak transparan.
Ia mengaitkan fenomena ini dengan kebutuhan pembiayaan partai politik, dan mempertanyakan transparansi penggunaan anggaran dalam investasi politik saat ini.
Konfrontasi atau Sekadar Retorika?
Mengenai apakah gaya bicara Presiden mencerminkan pergeseran arah politik dari kompromi ke konfrontasi terhadap kelompok oligarki, Ray skeptis. Ia merujuk pada beberapa kasus seperti “Padar Bambu” yang tidak jelas ujungnya.
“Pak Prabowo ini kita lihat memang kalau dalam unsur pidato, wah selalu gagah gitu. Tapi di lapangannya justru yang terjadi ya yang sebaliknya,” tegas Ray, mencontohkan kembali janji memberantas koruptor yang seharusnya dimulai dari lingkungan terdekat.
Pidato Tanpa Rencana dan Implikasi Lapangan
Ray menilai bahwa pidato Presiden Prabowo seringkali diucapkan secara spontan dan tanpa rencana. “Yang terpikir saat itu dia ungkapkan. Lalu apakah ada implikasinya di lapangan? Belum tentu,” jelasnya. Ia menyarankan agar pidato tersebut dilihat sebagai “konsumsi pidato” semata, kecuali jika menyangkut hal-hal positif yang benar-benar terwujud seperti pembangunan.
Namun, ketika pidato tersebut menyangkut isu sensitif seperti akses data oleh asing atau janji memberantas koruptor yang kontras dengan dugaan masalah etika di lingkaran pemerintahan, publik mulai menunjukkan sikap negatif.
“Orang misalnya nangkap dulu macan, sekarang ini macannya mana? Nah orang bertanya-tanya tuh, mana macannya? Kok begitu aja lawan Amerika gitu misalnya,” tambahnya, menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara citra yang dibangun dan realitas yang terlihat.
Respon Publik: Dukungan dan Kritik Membangun
Berbagai tanggapan dari masyarakat juga turut mewarnai diskusi ini. Bapak Dadi dari Tangerang, yang mengaku sebagai masyarakat pro-Presiden Prabowo, menyatakan akan tetap mendukung presiden yang telah dipilih rakyat. Ia menghargai kritik dari para pengamat, namun berharap kritik tersebut disertai dengan ide dan pelaksanaan nyata. “Memang kalau bicara memang mudah, tapi pelaksanaannya yang sulit,” kata Dadi, membandingkan Indonesia dengan negara kecil seperti Singapura.
Di sisi lain, Bapak Bayu melalui pesan WhatsApp, menyoroti adanya jurang antara pidato presiden dengan implementasi para pembantunya. “Jangan hanya omon-omon saja ya Pak Presiden,” kritik Bayu.
Senada dengan Dadi, Bapak Yanto dari Setiabudi, Jakarta, menekankan pentingnya kritik yang membangun. “Intinya bahwa ketika kita sudah memilih seorang pemimpin, kita percaya enggak? Atau sambil nalak-nalak gitu. Kalau kita harus mengkritik, tetap mengkritik yang baik,” ujarnya.
Bu Tasya dari Cirebon, Jawa Barat, juga mempertanyakan apakah gaya komunikasi Prabowo yang meledak-ledak adalah kekuatan atau kelemahan politiknya sebagai presiden.
Menanggapi hal tersebut, Ray menegaskan bahwa awalnya, gaya komunikasi tersebut memang menjadi kekuatan yang membuat banyak orang terkesima dan menjuluki Prabowo sebagai “macan”. Namun, setelah berkuasa, banyak ide besar yang tidak terwujud, bahkan terjadi sebaliknya.
“Saya kira harus dimulai dulu dari beliau juga. Ayo transparan dong,” kata Ray, menyoroti isu-isu seperti biaya Pilpres yang besar dan penguasaan lahan. Ia juga menekankan pentingnya pemimpin untuk melihat masalah dari diri sendiri dan lingkungannya terlebih dahulu sebelum menyampaikan pidato kepada publik. (*)
Sumber: live radio elshinta.com
Penulis: Fim