Indonesia Bisa Dapat Tarif 0% dari AS Bukan Lewat Negosiasi, Tapi Lewat Investasi

Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto

Jakarta – Upaya negosiasi tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat sejauh ini belum membuahkan hasil konkret. Tim dari pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian telah bertemu langsung dengan Menteri Perdagangan AS dan pimpinan United States Trade Representative (USTR). Namun, kesepakatan yang diharapkan belum tercapai.

Di tengah ketidakpastian itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyampaikan pandangan berbeda. Menurutnya, tarif 0% dari Amerika Serikat tidak harus diperoleh melalui jalur diplomasi. Ada cara lain yang justru lebih efektif: berinvestasi langsung di Amerika Serikat.

Pendapat ini selaras dengan isi surat Presiden Donald Trump kepada Presiden Prabowo Subianto yang sempat dibagikan Trump sendiri melalui media sosial. Dalam surat itu, Trump menyebut bahwa Indonesia bisa terbebas dari tarif jika memilih menanamkan modal langsung di AS.

“Sebagaimana Anda pahami, tidak akan ada tarif bila Indonesia, atau perusahaan di dalam negara Anda, memutuskan untuk membangun atau memproduksi barang di Amerika Serikat,” tulis Trump dalam paragraf pertama suratnya.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan tarif AS tidak semata ditujukan untuk menekan negara lain, tetapi juga untuk menarik investasi asing dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.

Namun, tantangan besar menanti. Tidak semua perusahaan Indonesia, termasuk BUMN, siap membuka fasilitas produksi di Amerika Serikat. Apalagi di tengah tren global, di mana banyak perusahaan justru memindahkan pabrik ke negara-negara dengan biaya tenaga kerja lebih rendah.

Hikmahanto menilai, kebijakan tarif Amerika adalah bagian dari agenda ekonomi domestik mereka, bukan hanya urusan hubungan dagang dengan Indonesia. Negara lain pun terkena dampaknya, dan kondisi ini membuat ruang diplomasi menjadi terbatas.

Mengingat tantangan tersebut, Hikmahanto menyarankan agar Indonesia tidak memaksakan negosiasi yang berpotensi menemui jalan buntu. Sebaliknya, ia menyarankan pemerintah untuk menunggu hingga 1 Agustus 2025, melihat apakah kebijakan tarif tetap berlaku atau justru mendapat tekanan dari dalam negeri Amerika.

“Hanya rakyat AS yang harus membayar lebih mahal akibat kebijakan ini. Jika mereka tidak menerima, maka kemungkinan besar mereka akan menekan pemerintah secara ketatanegaraan untuk mencabut atau mengubah kebijakan ini,” jelas Hikmahanto.

Jika tekanan dari masyarakat Amerika meningkat karena harga barang naik, bukan tak mungkin kebijakan tarif akan ditinjau ulang. Dalam situasi ini, posisi tawar Indonesia bisa menjadi lebih kuat.

Meski demikian, pemerintah tetap perlu menyiapkan strategi. Mendorong investasi Indonesia di Amerika bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menghindari tarif tinggi, sekaligus menjaga hubungan ekonomi yang stabil dan saling menguntungkan.

Langkah antisipatif ini tidak hanya melindungi eksportir nasional, tetapi juga menunjukkan bahwa Indonesia siap menghadapi perubahan kebijakan global dengan strategi yang cerdas dan terukur.

Penulis: Win

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri