Letkol Arh Joko Sukoyo memimpin dengan rendah hati, bukan sebagai atasan, tapi saudara sebangsa yang merasakan getar suka dan duka bersama warga Silirsari.
Warga pun merespons dengan semangat luar biasa; ikut serta mengangkut material, menyediakan makanan, dan menjaga keamanan. Keringat dan tawa bersatu dalam kebersamaan yang mengikat jiwa.
“TMMD bukan hanya membangun fisik, tetapi membangun hati dan semangat bersatu,” tegas Joko saat peresmian, suaranya lantang menyuarakan kehangatan persatuan.
Sebelumnya, Silirsari adalah sebuah pulau terpencil; perjalanan ke pasar, sekolah, maupun pusat layanan kesehatan menjadi rintangan berat. Para petani harus berjuang keras membawa hasil panen mereka ke pasar dengan risiko yang tinggi.
Kini, dengan tegaknya Jembatan Joko Sukoyo, jarak telah dihancurkan. Waktu tempuh yang semula berjam-jam menyusut menjadi menit. Siti, ibu rumah tangga sekaligus petani, tak dapat menyembunyikan kegembiraannya.
“Dulu saya harus bangun subuh, kini cukup berangkat siang. Anak-anak juga lebih leluasa ke sekolah. Jembatan ini berkah bagi kami,” tuturnya dengan mata cerah.
Jembatan ini bukan sekadar jalan penghubung, melainkan pembuka pintu kesempatan; pendidikan lebih mudah dijangkau, layanan kesehatan lebih cepat hadir, dan harapan tumbuh subur di akar desa.
Yang paling menggetarkan hati adalah pilihan nama jembatan—bukan keputusan politik, tetapi cermin cinta masyarakat. Nama Letkol Arh Joko Sukoyo dipilih sebagai penghormatan atas dedikasi dan pengabdiannya yang tak ternilai.
“Pak Joko bukan hanya perwira, tapi putra desa kami. Dia selalu ingat akar dan berbakti tulus,” ujar Kepala Desa Kesilir dengan penuh hormat.
Prasasti nan megah bertuliskan “Jembatan Joko Sukoyo” menjadi simbol kebanggaan rakyat, monumen hidup yang akan dikenang sepanjang masa.
Jembatan ini lebih dari sekadar konstruksi nyata. Ia adalah lukisan cinta, kebanggaan, dan sumber inspirasi. Bukti bahwa kerja keras, dedikasi, dan cinta pada tanah kelahiran mampu mencipta kebesaran.
Warisan yang abadi, pengingat bagi generasi mendatang bahwa tiap individu memiliki potensi mengukir perubahan, memberikan arti bagi masyarakat.
Sulainah dan Kadis melantunkan doa tulus untuk sang putra. “Semoga jembatan ini menjadi saksi kebaikanmu, Nak,” bisiknya, dengan air mata yang kembali menyapa.
Masyarakat pun mengamini doa dan harapan itu, yakin bahwa Jembatan Joko Sukoyo akan berdiri kokoh—melambangkan persatuan, kemajuan, dan harapan abadi.
Cinta masyarakat mengukir nama, melekat di jantung desa, dan mengilhami perjalanan generasi menuju masa depan gemilang.
Penulis: Win