Pencabutan kartu liputan Istana yang dialami wartawan CNN Indonesia, Diana Valencia, setelah mengajukan pertanyaan mengenai Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto, kembali memicu perdebatan hangat di ruang publik.

Banyak pihak menilai tindakan itu sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan pers. Namun, di balik kontroversi tersebut, terdapat ruang yang krusial untuk merefleksikan kembali peran dan profesionalisme jurnalis, khususnya bagaimana menjaga etika dalam forum resmi kenegaraan.

Menjaga Fokus dalam Forum Resmi

Presiden Prabowo baru saja menyelesaikan kunjungan kenegaraan penting, yakni Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lawatan diplomatik ke Belanda — dua agenda besar yang memayungi kepentingan strategis politik luar negeri tanah air. Dalam kesempatan tersebut, pihak Istana menggelar konferensi pers dengan agenda utama berfokus pada capaian dan pesan penting dari lawatan internasional tersebut.

Dalam konteks ini, sangat wajar apabila sesi tanya jawab diarahkan agar tetap selaras dengan topik yang telah disepakati sebelumnya. Ketika pertanyaan disampaikan di luar pokok bahasan, risiko gesekan antara jurnalis dengan mitra penyelenggara menjadi tak terelakkan. Di sinilah esensi profesionalisme jurnalis benar-benar diuji.

Kebebasan Bertanya dan Batasan Konteks

Kebebasan bertanya adalah hak fundamental jurnalis dalam menjalankan fungsi kontrol sosial dan menyuarakan kepentingan publik. Pertanyaan kritis dan tajam sangat diperlukan untuk menggali kebenaran dan mendorong transparansi pemerintahan. Namun, kebebasan ini tidak berarti kebebasan tanpa batas, terutama dalam forum resmi kenegaraan yang telah diatur tata caranya dengan jelas.

Wartawan harus memiliki kepekaan untuk membaca situasi, memahami prioritas isu, dan menyampaikan pertanyaan dengan tepat, baik dalam substansi maupun momentum. Melontarkan pertanyaan yang mengabaikan konteks bisa menimbulkan kesan bahwa wartawan mencari sensasi ketimbang mengejar substansi, yang akhirnya justru menodai kredibilitas institusi media itu sendiri.

Kebebasan pers yang sejati harus diiringi dengan kedisiplinan, riset mendalam, dan strategi komunikasi yang matang, agar setiap pertanyaan kritis tetap relevan dan bermutu. Dalam suasana profesional, pertanyaan yang mengalir secara alami sesuai dengan alur pembahasan akan memudahkan penyampaian jawaban yang juga komprehensif.

Menghindari Sikap Represif, Menumbuhkan Dialog yang Sehat

Memang, pemerintah dan lembaga negara harus terbuka serta menerima kritik sebagai bagian dari demokrasi yang sehat. Sikap represif terhadap pers justru akan melemahkan kepercayaan publik dan merusak kualitas demokrasi. Oleh karena itu, ruang dialog antara pemerintah dan media harus dipastikan tetap terbuka dan menghormati prinsip kebebasan pers.

Meski demikian, jurnalis pun harus melakukan introspeksi terhadap peran dan sikapnya saat bertugas. Mematuhi aturan tata acara, menghormati agenda dan jalannya diskusi, serta menjaga kualitas pertanyaan bukanlah tindakan pembatasan, melainkan bagian integral dari tanggung jawab profesional. Sikap ini juga menghindarkan wartawan dari kesan antagonis yang tidak perlu, sekaligus membangun hubungan yang konstruktif dengan narasumber.

Kebebasan dengan Rasa Hormat: Kunci Kesalinghormatan dalam Demokrasi

Kasus pencabutan kartu liputan ini menjadi pengingat penting bahwa demokrasi tidak hanya terdiri dari kebebasan tanpa batas, melainkan juga menuntut kesalingan dan saling menghormati antar pelaku. Pemerintah harus terus membuka diri, transparan, dan menerima kritik dengan kepala dingin. Sementara itu, wartawan harus menyeimbangkan kebebasan bertanya dengan rasa hormat terhadap proses dan konteks.

Kebebasan bertanya tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan tata cara dan etika, begitu pula kebebasan menjawab tidak boleh menjadi dalih untuk menutup akses dan mengekang ruang pers. Keduanya akan bermakna apabila dijalankan berdasarkan prinsip saling menghargai.

Menatap Masa Depan Profesi Jurnalistik yang Bertanggung Jawab

Profesi jurnalistik memiliki peranan vital sebagai pilar demokrasi dan pengawal kepentingan publik. Agar peran itu dapat dijalankan secara optimal, penguatan etika dan profesionalisme menjadi keharusan. Pendidikan jurnalistik yang terus berkembang, pelatihan sensitivitas dalam konteks yang berbeda, serta standar kode etik yang jelas harus terus dijaga dan diperbarui.

Selain itu, dialog antara institusi pemerintah dan insan pers perlu diperkuat dalam rangka membangun kepercayaan dan saling pengertian. Dengan begitu, potensi konflik dapat diminimalisir dan suasana kerja yang kondusif tercipta demi keberlangsungan demokrasi yang sehat.

Kesimpulan

Kebebasan bertanya memang bagian tak terpisahkan dari demokrasi dan kebebasan pers. Namun, hak ini harus dipahami dalam kerangka etika, profesionalisme, dan kesadaran kontekstual. Pencabutan kartu liputan yang dialami wartawan Diana Valencia bukan semata persoalan pembatasan kebebasan, melainkan panggilan untuk menata ulang tata kelola forum sehingga komunikasi antara pemerintah dan media berjalan dengan lebih efektif dan bermartabat.

Demokrasi yang sehat menuntut peran dua arah: pemerintah yang terbuka dan pers yang bertanggung jawab. Kebebasan tidak berarti bertindak sesuka hati, tetapi didasari oleh saling menghormati dan kerangka profesionalisme. Dalam keseimbangan itulah dialog publik yang berkualitas dan berdaya guna dapat terwujud demi kemajuan bangsa.

Penulis: Dar Edi Yoga Wartawan Senior

Editor: Eko Windarto

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri