Jakarta – Kemenperin terus mendorong kemandirian bahan baku susu dan kakao demi memperkuat industri nasional. Upaya ini dilakukan melalui perbaikan sistem inbound material yang terintegrasi dengan digitalisasi, serta kolaborasi menyeluruh bersama para pemangku kepentingan. Langkah strategis ini menjadi bagian penting dalam memperkuat ekosistem industri agro lokal. Jakarta, 3/7/2025.

Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika, mengungkapkan bahwa digitalisasi telah diterapkan secara efektif di sektor susu, khususnya pada tahap penerimaan bahan baku di sentra-sentra produksi. Teknologi ini mampu menekan angka kontaminasi secara signifikan, sehingga kualitas bahan baku susu nasional meningkat dan memenuhi standar internasional.

“Nah, untuk susu ini kami sudah menerapkan digitalisasi pada tempat penerimaan susu. Hasilnya sangat positif karena kontaminasi bisa turun drastis. Standar kualitas yang kami terapkan pun sangat tinggi dibandingkan sebelum era digitalisasi,” ujar Putu dalam keterangannya saat menghadiri Pre-Event Specialty Indonesia 2025 di Jakarta, Kamis (3/7/2025).

Sementara itu, bagi sektor kakao, Kemenperin meluncurkan program inovatif pembinaan petani yang dikenal dengan sebutan “Dokter Kakao”. Program ini bertujuan meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani kakao melalui peningkatan keterampilan dan pengetahuan agronomi.

Putu menambahkan, keberhasilan program Dokter Kakao sudah mulai terlihat dari meningkatnya produksi kakao dalam negeri serta kenaikan kesejahteraan petani. Program ini juga berhasil memperluas jangkauan ke berbagai wilayah strategis seperti Poso, Aceh, dan dalam waktu dekat akan diterapkan di Cianjur bekerja sama dengan Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO).

“Komitmen yang kami dapatkan sangat kuat karena hasil program Dokter Kakao sangat menggembirakan. Produksi kakao dari dalam negeri telah meningkat signifikan dan petani mulai bisa tersenyum,” ujarnya penuh optimisme.

Menurut data Kemenperin, kebutuhan bahan baku kakao nasional mencapai sekitar 300 ribu ton per tahun, sedangkan susu membutuhkan lebih dari 4 juta ton per tahun. Namun, pemenuhan dari sumber domestik masih terbatas, yakni baru sekitar 50 persen untuk kakao dan 20 persen untuk susu, sehingga masih ada ketergantungan impor yang cukup tinggi.

Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, menyoroti bahwa permasalahan utama dalam industri makanan dan minuman terutama terjadi di sektor hulu, khususnya terkait keterbatasan ketersediaan bahan baku. Kondisi ini memaksa sebagian pelaku industri mengimpor bahan baku untuk memenuhi kebutuhan ekspor nasional yang terus meningkat.

Menurut Faisol, sangat penting untuk mendorong pelaku usaha agar lebih mandiri dalam mengembangkan bahan baku lokal melalui kolaborasi aktif dengan kementerian lain, lembaga pemerintah, dunia usaha, serta perguruan tinggi.

“Kampus dan lembaga riset memiliki peran krusial karena memiliki kapabilitas studi dan riset yang dapat mempercepat pencarian inovasi solusi atas keterbatasan bahan baku nasional,” jelasnya.

Lebih lanjut, Faisol menjelaskan bahwa dua bahan baku strategis yang masih banyak diimpor, yaitu kakao dan susu, masing-masing menghadapi tantangan yang berbeda. Produksi kakao menurun akibat berbagai faktor, sementara pengembangan sapi perah terkendala oleh faktor iklim dan ketersediaan bibit unggul yang terbatas.

Penulis: Ekowin

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri