Jawa Timur — Penyaluran dana hibah desa yang sejatinya bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan, nyatanya menyimpan celah yang cukup lebar untuk praktik korupsi. Hal ini disebabkan lemahnya regulasi, kurangnya keterlibatan masyarakat, serta tidak optimalnya fungsi pengawasan baik secara vertikal maupun horizontal antara pemerintah desa dan pemerintah di atasnya.
“Saya melihat sendiri bahwa celah korupsi banyak muncul karena tidak tegasnya regulasi, minimnya partisipasi publik, dan lemahnya akuntabilitas,” ujar Rizki narasumber dalam Dialog Interaktif di Radio City Guide Malang, Kamis (24/7/2025).
Pengawasan atas penggunaan dana desa selama ini lebih bersifat retrospektif — dilakukan setelah kejadian. Lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) misalnya, hanya menjalankan fungsi audit pasca penggunaan anggaran. “BPK itu tugasnya konstitusional, memeriksa tanggung jawab keuangan negara. Tapi dia tidak menyentuh teknis lapangan secara langsung. Temuannya memang jadi dasar tindak lanjut, tapi bukan pencegahan,” lanjutnya.
Digitalisasi Belum Menjawab Semua
Pemerintah Jawa Timur sebenarnya telah melakukan terobosan dengan meluncurkan aplikasi seperti “Abah Jati” guna memfasilitasi pengawasan publik secara digital. Namun efektivitasnya masih belum terasa.
“Memang sistem berbasis digital sudah ada, tapi belum dilakukan secara sistematis. Edukasi kepada masyarakat juga nyaris tak ada, padahal ini penting, khususnya bagi warga desa,” ujar Rizky, seorang aktivis antikorupsi.
Ia menekankan perlunya penguatan kapasitas lembaga pengawas seperti inspektorat agar tidak mudah diintervensi kepala daerah. “Selain itu, perlu forum pengawasan terpadu antar-lembaga. Jangan jalan sendiri-sendiri,” tambahnya.
Dana Ratusan Juta, Tapi Edukasi Minim
Pak Said, perwakilan desa Pujon Kidul kabupaten Malang, memaparkan bahwa dalam setahun, dana hibah dari pusat yang masuk ke desanya bisa mencapai ratusan juta rupiah. “Untuk tahun 2023 saja, sekitar Rp150 juta untuk pembangunan, Rp82 juta untuk program kesehatan,” katanya. Namun, pengawasan atas dana sebesar ini masih bergantung pada kesadaran lokal dan belum didukung sistem pengawasan menyeluruh.
Penggunaan dana hibah, menurut Pak Said, telah melibatkan masyarakat dalam proses musyawarah desa. “Tiap Juli sampai September, kita evaluasi RPJM Desa, masyarakat kami ajak diskusi, prioritas ditentukan bersama,” ujarnya. Namun ia tak menampik bahwa pengawasan teknis dari pusat terhadap kepala desa masih lemah. “Kadang ya, kepala desa bisa salah tafsir penggunaan dana kalau tidak ada pendampingan,” jelasnya.
Penulis: Fim