Seiring berjalannya waktu, praktik penyembelihan hewan kurban dalam perayaan Idul Adha telah menimbulkan perdebatan dan perbedaan pandangan di kalangan umat Islam.
Di satu sisi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memegang teguh tradisi penyembelihan hewan sebagai bagian tak terpisahkan dari ibadah kurban.
Konsep pengorbanan hewan sebagai perwujudan kesetiaan dan ketaatan kepada Allah diyakini sebagai ajaran yang tidak dapat dipertanyakan.
Meskipun demikian, pandangan ini bertentangan dengan Muhammadiyah, organisasi Islam yang memiliki sudut pandang yang lebih moderat terkait praktik kurban.
Muhammadiyah berpandangan bahwa esensi dari ibadah kurban seharusnya lebih pada semangat pengorbanan, keikhlasan, dan solidaritas sosial daripada fokus pada tindakan penyembelihan hewan.
Perbedaan pandangan antara MUI dan Muhammadiyah membawa isu sentral dalam tradisi kurban yang perlu dipertimbangkan secara mendalam untuk memahami makna sejati dari ibadah itu sendiri.
Pertanyaan pun muncul, apakah penyembelihan hewan kurban merupakan kewajiban yang tidak dapat diubah ataukah representasi simbolis dari pengorbanan dan pengorbanan pribadi yang lebih luas?
Pandangan MUI: Hewan Kurban Sebagai Pengorbanan Tak Tergantikan
MUI, sebagai lembaga otoritatif dalam menetapkan fatwa-fawa agama Islam di Indonesia, menganggap bahwa hewan kurban dalam perayaan Idul Adha adalah penjelmaan nyata dari konsep pengorbanan yang diajarkan oleh kisah Nabi Ibrahim.
Mereka meyakini bahwa tindakan penyembelihan hewan kurban merupakan bagian tak terpisahkan dari ibadah yang harus dilaksanakan sesuai dengan tuntunan agama.
Menurut pandangan MUI, pengorbanan hewan kurban tidak hanya sekadar ritual, melainkan menyimpan makna yang mendalam sebagai bentuk ketaatan dan kepatuhan umat Muslim kepada Allah SWT.
Hewan kurban dipandang sebagai pengganti yang tidak dapat digantikan dalam konteks perayaan Idul Adha, di mana setiap partisipan diharapkan menjalankan kewajibannya untuk menyisihkan sebagian rezekinya dan berbagi kepada sesama.
Sudut Pandang Muhammadiyah: Esensi Kurban Lebih dari Sekadar Penyembelihan Hewan
Di sisi lain, Muhammadiyah merespons praktik penyembelihan hewan kurban dengan pandangan yang lebih bernuansa humanis dan moral.
Mereka menekankan bahwa esensi ibadah kurban seharusnya lebih terfokus pada nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas sosial, dan pengorbanan yang lebih luas daripada sekadar tindakan memotong hewan.
Muhammadiyah menyatakan bahwa konteks perayaan Idul Adha harus lebih ditekankan pada semangat kepedulian terhadap sesama, keikhlasan dalam berbagi rezeki, dan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.
Penyembelihan hewan kurban dianggap sebagai metode simbolis untuk memahami esensi dari pengorbanan dan pengabdian.
Relevansi Tafsir Terhadap Makna Kurban dalam Islam
Perdebatan antara MUI dan Muhammadiyah menyoroti pentingnya pemahaman terhadap tafsir dan interpretasi terhadap ajaran agama.
Tafsir yang dilakukan oleh ulama dan cendekiawan Islam dapat membantu umat dalam memahami makna sejati dari praktik ibadah kurban.
Memperhatikan konteks sosial, kultural, dan nilai-nilai universal yang terkandung dalam ibadah kurban dapat mengarahkan umat Muslim untuk melaksanakan ibadah tersebut dengan pemahaman yang lebih mendalam dan kemaslahatan yang lebih luas bagi masyarakat.
Penyelarasan antara tradisi, idealisme, dan relevansi sosial merupakan kunci untuk menjaga keberkahan dan makna ibadah kurban dalam konteks zaman yang terus berkembang.
Kesimpulan
Seiring dengan evolusi pemikiran dan tafsir dalam Islam, praktik penyembelihan hewan kurban dalam perayaan Idul Adha menjadi subjek perdebatan yang menarik.
Pandangan antara MUI yang menekankan pada pentingnya menjalankan tradisi ibadah dengan tepat dan Muhammadiyah yang menyoroti nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial membawa perspektif yang berbeda namun komplementer terhadap makna dari ibadah kurban.
Dalam menghadapi perbedaan pandangan ini, pemahaman yang mendalam terhadap tafsir, konteks sosial, dan nilai-nilai agama menjadi kunci untuk memahami esensi sejati dari ibadah kurban dalam Islam.
Penulis: Eko Windarto