Dalam perspektif kehidupan spiritual, pandangan hati memang memiliki dimensi yang jauh lebih dalam dibandingkan sekadar penglihatan visual yang bersifat fisik. Seperti yang disampaikan Jalaluddin Rumi, pandangan mata terbatas pada pengetahuan permukaan, sementara pandangan hati mengajak kita menembus ke dalam substansi terdalam keberadaan. Di sinilah letak keabadian dan kedamaian sejati yang tidak akan ditemukan dalam hal-hal temporal dan material.

Mengapa kita sering terpaku pada penglihatan mata? Mungkin karena dunia modern telah membuat kita terbiasa dengan bukti-bukti nyata yang bisa dilihat dan diraba. Kemajuan teknologi dan sains memang banyak membantu dalam memahami alam semesta secara fisik, tapi sayangnya tidak memberi jawaban atas persoalan terdalam hati dan jiwa manusia. Padahal, seringkali apa yang paling kita perlukan bukanlah sesuatu yang bisa diukur atau dibuktikan secara konkrit, melainkan sebuah pengalaman batin yang mendalam dan meresap.

Perjumpaan Batin yang Membebaskan

Ketika “bertemu” menggunakan pandangan hati, seseorang tidak lagi sibuk dengan label, bentuk, atau kondisi eksternal. Pertemuan ini membawa kualitas kedekatan yang berbeda, yakni sebuah keterhubungan yang membebaskan dan menentramkan. Kita tidak lagi sekadar mengenal sesuatu, namun mengenal “hakikatnya”. Misalnya, dalam doa, kita tidak sekadar mengucapkan kata-kata, tetapi ‘berjumpa’ dengan Sang Pencipta dalam keheningan dan ketulusan. Ini adalah perjumpaan yang tidak bisa diukur dengan alat apapun, tapi terasa penuh dengan ketenangan dan kasih sayang.

Pertemuan batin seperti ini menuntut ketulusan hati dan kesediaan untuk membuka diri tanpa batas. Hati yang tertutup oleh prasangka, keegoisan, dan materialisme akan sulit merasakan kehadiran ilahi. Sebaliknya, hati yang terbuka, ikhlas, dan penuh kerendahan akan mengalami perjumpaan yang memerdekakan, membawa kedamaian sekaligus kekuatan menghadapi tantangan hidup.

Kekuatan Syukur Sebagai Kunci Pertemuan Hati

Salah satu cara sederhana yang sering terlupakan dalam membuka pandangan hati adalah rasa syukur. Berterima kasih bukan hanya soal etika sosial, tapi juga merupakan jalan spiritual yang sungguh dalam. Saat kita bersyukur, hati kita secara alami berorientasi pada pengakuan atas nikmat-nikmat tersembunyi yang sering luput dari perhatian. Syukur mengalihkan fokus dari kekurangan kepada anugerah yang melimpah.

Ilmu tasawuf sering menekankan hal ini: syukur tidak sekadar ucapan tapi sebuah keadaan yang mengubah hati dan pikiran, menjadikannya lebih peka terhadap cahaya ilahi yang bersemayam dalam setiap lapisan hidup. Oleh sebab itu, syukur menjadi pintu masuk agar kita “bertemu” dengan makna hidup yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar menjalani rutinitas dengan mata terbuka tapi hati tertutup.

Melatih Pandangan Hati dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagaimana caranya melatih pandangan hati untuk mampu “bertemu” bukan hanya “melihat”? Ini bukanlah sesuatu yang bisa didapatkan secara instan atau dengan kekuatan kemauan semata. Melainkan sebuah latihan kontinyu yang mengombinasikan kesadaran, kehadiran penuh (mindfulness), dan niat yang benar.

Pertama, kita perlu belajar hadir sepenuhnya saat menjalani aktivitas sehari-hari. Kebiasaan kita sering kali terbagi, pikiran melayang ke masa lalu atau masa depan, sehingga hati tidak mampu menyerap pengalaman dengan utuh. Dengan berlatih hadir, kita bisa menangkap getar-getar kehidupan yang sering tersembunyi di balik kesibukan dan kebisingan jiwa.

Kedua, kita harus membiasakan diri melakukan refleksi secara mendalam—bukan hanya evaluasi biasa, tapi menelusuri perasaan dan motif terdalam kita. Apakah kita menjalani sesuatu hanya untuk penampakan, status sosial, atau memang karena tujuan spiritual? Dengan introspeksi seperti ini, hati makin terasah untuk membedakan yang penting dan tidak, yang hakiki dan yang semu.

Ketiga, memperkuat hubungan dengan alam dan ciptaan-Nya. Dalam sunyi dan keindahan alam, jiwa sering kali mengalami pengalaman batin yang memperkuat dialog dengan Sang Pencipta. Alam menjadi kitab terbuka yang mengajarkan kita tentang kesederhanaan, keutuhan, dan kebesaran-Nya yang tak terhingga.

Pertemuan dengan Tuhan: Sebuah Pengalaman Hakiki

Bagi seorang Muslim, perjumpaan dengan Tuhan bukanlah sekadar konsep teologis, melainkan pengalaman batin yang bisa dirasakan, dialami, dan dihayati secara nyata. Dalam Al-Qur’an dan Hadis, sering disebutkan bagaimana manusia dianjurkan untuk mengenal Allah dengan hati, bukan hanya dengan pikiran atau penglihatan.

Ketenangan yang datang dari perjumpaan dengan-Nya menjelma sebagai sumber kekuatan yang tak pernah habis. Rumi sendiri melalui karya-karya puisinya menggambarkan perjumpaan batin ini sebagai momen sakral, ketika jiwa disucikan dan melebur dalam cinta yang murni. Semangat penyatuan ini adalah tujuan akhir dari perjalanan spiritual siapa pun yang mendambakan kedamaian abadi.

Namun, perjumpaan ini menuntut usaha melepaskan diri dari segala hal yang membelenggu hati: kemarahan, kebencian, keserakahan, dan kesombongan. Hati yang penuh dengan noda-noda seperti itu tidak akan bisa melihat cahaya Ilahi meskipun mata fisik terbuka lebar sekalipun.

Menemukan Kedamaian Abadi dalam Hati

Ketika hati sudah terbuka dan mampu “bertemu”, maka kedamaian bukan lagi sebuah cita-cita jauh melainkan realitas hidup yang mengalir setiap saat. Kedamaian ini adalah buah dari pengertian mendalam, penghormatan tulus atas makna hidup, dan hubungan harmonis dengan Tuhan, diri sendiri, dan sesama.

Dalam proses itu, kita bukan hanya menjadi pribadi yang lebih damai, tetapi juga menjadi agen penyebar kedamaian bagi lingkungan sekitar. Hati yang telah menemukan jati dirinya dan perjumpaan dengan Sang Pencipta akan memancarkan cinta kasih tanpa syarat yang menginspirasi dan menyembuhkan.

1 2

Penulis: Ekowin

Editor: Sarpin

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri