Mengurai Fenomena Ormas yang Meminta THR
Sumber foto: Ilustrasi ormas meminta pungli dengan paksaan (Generated by AI).

Indonesia, JATIMLINES.ID – Menjelang Lebaran, fenomena permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh organisasi masyarakat (Ormas) kembali mencuat. Rabu, (19/3/2025).
Di berbagai wilayah, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Jawa Barat, beberapa Ormas meminta THR dari warga maupun pelaku usaha dengan dalih “pengamanan” atau “bantuan sosial.”Sayangnya, praktik ini sering kali disertai unsur pemaksaan dan ancaman bagi mereka yang menolak.
Kasus seperti ini bukanlah hal baru. Setiap tahun, laporan terkait pemaksaan THR oleh Ormas selalu muncul. Banyak pihak yang merasa terintimidasi, tetapi memilih diam karena takut akan konsekuensi jika menolak.

Kasus Pemerasan THR yang Sedang Diselidiki
Dilansir dari CNN Indonesia pada Selasa (18/3/2025), kepolisian tengah menyelidiki kasus edaran permintaan THR yang dilakukan oleh tiga Ormas kepada pengusaha di Sawangan, Depok, Jawa Barat. Surat yang viral di media sosial itu mengatasnamakan “social control keamanan” menjelang Lebaran.
Kapolres Metro Depok, Kombes Abdul Waras, menyatakan bahwa pihak kepolisian sedang menunggu respons dari masyarakat sembari melakukan penyelidikan lebih lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa praktik ini sudah menjadi perhatian serius pihak berwenang.
Faktor Penyebab Maraknya Permintaan THR oleh Ormas

Fenomena permintaan THR oleh Ormas tidak terjadi tanpa sebab. Praktik ini terus berulang setiap tahunnya karena dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, seperti ketergantungan ekonomi Ormas pada pungutan liar, normalisasi oleh masyarakat, serta lemahnya penindakan hukum. Kombinasi dari ketiga faktor ini membuat aksi pemerasan berkedok permintaan THR semakin sulit dihentikan.
Beberapa Ormas tidak memiliki sumber pendapatan yang jelas atau program produktif untuk mendukung operasional mereka. Akibatnya, mereka mencari jalan pintas dengan meminta dana dari masyarakat dan pelaku usaha, salah satunya dalam bentuk “THR.” Praktik ini semakin marak karena dianggap sebagai cara cepat mendapatkan dana tanpa upaya yang transparan dan legal.
Dilansir dari Tempo pada Selasa (18/3/2025), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Bitung Jaya di Tangerang, Banten, mengirim surat permintaan THR kepada perusahaan sekitar. Surat bernomor 005/LPM/2025 itu bertanggal 5 Maret 2025, tetapi tidak mencantumkan nominal spesifik, menunjukkan pola pemerasan terselubung yang masih sering terjadi di berbagai daerah.
Normalisasi oleh Masyarakat

Normalisasi praktik pemerasan THR oleh Ormas terjadi karena banyak pihak menganggapnya sebagai “uang damai” untuk menghindari gangguan. Pemikiran ini membuat masyarakat lebih memilih membayar daripada menghadapi potensi intimidasi atau kerugian lainnya.
Akibatnya, praktik ini terus berlangsung tanpa perlawanan, menciptakan siklus yang sulit diputus dan semakin memperkuat posisi para pelaku dalam menekan warga maupun pelaku usaha.
Lemahnya Penindakan Hukum
Lemahnya penindakan hukum membuat pelaku pemerasan THR merasa aman dan terus mengulangi aksinya. Minimnya tindakan tegas dari aparat memberikan ruang bagi praktik ini untuk terus berlangsung, meskipun jelas merugikan ekonomi warga.

Selain itu, fenomena ini juga mencoreng citra Ormas yang seharusnya berperan sebagai mitra masyarakat dalam pembangunan sosial. Tanpa penegakan hukum yang tegas, penyimpangan semacam ini akan semakin sulit diberantas.
Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh
Untuk menghentikan praktik pemerasan THR oleh Ormas, pendekatan hukum harus menjadi solusi utama. Beberapa regulasi yang dapat digunakan untuk menindak pelaku di antaranya adalah Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, yang mengancam pelaku dengan hukuman penjara hingga 9 tahun.
Selain itu, UU Ormas No. 17 Tahun 2013 juga dapat diterapkan, di mana aturan ini memungkinkan pembubaran organisasi yang terbukti menyimpang dari tujuan awalnya dan melakukan tindakan yang merugikan masyarakat.

Dengan penegakan hukum yang tegas, diharapkan praktik pemerasan ini dapat diminimalisir atau bahkan dihentikan sepenuhnya.
Dilansir dari detiknews, Wakil Wali Kota Depok, Chandra Rahmansyah, pada Senin (17/3/2025) menegaskan bahwa tidak ada aturan yang mewajibkan pengusaha memberikan THR kepada Ormas. Menurutnya, THR hanya menjadi kewajiban bagi pengusaha kepada karyawannya, bukan kepada organisasi di luar struktur perusahaannya.
Masyarakat Harus Berani Melapor
Salah satu penyebab utama praktik pemerasan ini terus terjadi adalah ketakutan masyarakat untuk bersuara. Banyak korban yang memilih diam karena takut akan intimidasi atau tidak memahami prosedur pelaporan.

Padahal, pelaporan ke pihak berwenang bisa dilakukan dengan bukti sederhana, seperti rekaman percakapan, pesan teks atau surat permintaan THR, dan kesaksian saksi yang melihat kejadian.
Kolaborasi antara keberanian masyarakat dan respons cepat aparat menjadi kunci untuk menghentikan praktik pemerasan ini. Dengan melapor, kita tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bebas dari tekanan Ormas yang menyalahgunakan kekuasaannya.
Kesimpulan
Permintaan THR oleh Ormas yang disertai unsur pemaksaan bukanlah hal yang bisa dibiarkan. Selain merugikan secara ekonomi, praktik ini juga mencoreng citra Ormas yang seharusnya berperan dalam membangun masyarakat, bukan justru membebani.

Pemberantasan praktik ini membutuhkan kombinasi antara penegakan hukum yang tegas dan keberanian masyarakat untuk menolak serta melaporkan pemerasan. Jika kita bersama-sama menolak praktik ini dan memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan benar, maka kebiasaan ini bisa dihentikan, menciptakan lingkungan sosial yang lebih aman dan adil bagi semua.
Penulis: Em Nugraha
Editor: Nana