Menteri Keuangan Purbaya Jawab Kritik Rocky Gerung dengan Data

Dalam panggung perdebatan publik yang kerap membara, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kembali unjuk gigi dengan gaya bahasa yang blak-blakan namun sarat fakta.
Pada Minggu (14/9/2025), dalam acara bergengsi bertajuk Great Lecture: Transformasi Ekonomi Nasional – Pertumbuhan Inklusif Menuju 8%, Purbaya menanggapi tajam kritik pengamat politik sekaligus filsuf terkemuka, Rocky Gerung, yang kerap melontarkan anggapan bahwa Presiden Joko Widodo alias Jokowi tidak berbuat banyak selama masa kepemimpinannya.
Purbaya membuka presentasinya dengan menyapa hadirin dan kemudian menyingsingkan lengan saat menunjukkan data yang membawa narasi berbeda. Ia menyerahkan bukti konkret lewat grafik pertumbuhan ekonomi nasional—dan di situlah kisah sebenarnya, diam hablur dalam angka, mulai terungkap.
“Saya ingin memberi kritik ringan untuk Pak Rocky Gerung. Beliau sering mengatakan, ‘Jokowi nggak ngapa-ngapain.’ Tapi, lihatlah ini, ekonomi kita malah tumbuh, recovery-nya nyata!” kata Purbaya, suaranya menembus hening ruangan.
Menteri yang dikenal santai namun lugas itu menegaskan bahwa salah satu tonggak keberhasilan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama saat pandemi COVID-19 melanda dunia, bukanlah sebuah kebetulan. Ia menekankan betapa intervensi langsung dari Istana Negara di bawah Jokowi memainkan peran krusial dalam menjaga roda ekonomi agar tetap berputar, saat mayoritas negara lain terpuruk.
Namun, manisnya cerita tidak sepenuhnya mulus. Purbaya juga menyentil kiprah ekonomi yang meredup, terutama sejak pertengahan 2024 hingga 2025. Penurunan tersebut menurutnya bukan sekadar bayang-bayang gelap dari politik yang gaduh, melainkan akibat dari apa yang ia sebut sebagai “ekonomi yang dibunuh”—suatu sindiran keras pada kebijakan atau dinamika internal yang secara perlahan melemahkan vitalitas ekonomi bangsa.
“Yang kalian rasakan di tahun 2024-2025, ekonomi mulai berat, susah bergerak. Keluarlah narasi soal ekonomi suram, bukan karena politik, melainkan ekonomi yang ‘dibunuh’. Itu penyebab utamanya,” ujarnya dengan nada tegas.
Momen kritis ini kemudian berbalik menjadi panggung perdebatan yang penuh gelak tawa dan canda, ketika Purbaya secara langsung menantang Rocky untuk kembali belajar ekonomi, sembari memuji kemampuan filsafatnya yang tajam. Ia tidak segan menjadikan peristiwa itu sebagai kesempatan untuk memberi ‘ledekkan’ yang manusiawi.
“Jadi, Pak Rocky, mari sedikit belajar ekonomi lagi, Pak. Saya nikmati kesempatan ini untuk sedikit menyindir beliau. Setiap saya lihat pidatonya, memang menarik, Pak Rocky ini ahli filsafat. Tapi mumpung bisa, saya ingin kritik balik di sini,” imbuhnya dengan seloroh, menuai tepuk tangan dan gelak tawa riuh para audiens.
Respons yang mengalir di ranah maya pun beragam. Banyak pengguna media sosial memuji keberanian Purbaya yang secara terbuka menjawab kritik tokoh publik papan atas dengan argumentasi berbasis data—sebuah gerakan yang dianggap langka dan segar di tengah hingar-bingar politik tanah air. Namun, sejumlah pihak yang skeptis tetap mempertanyakan sejumlah kebijakan fiskal pemerintah yang dinilai belum menyentuh akar permasalahan ekonomi rakyat.
Jika kita membedah lebih dalam, perdebatan ini bukan sekadar soal siapa yang benar atau salah, tetapi sebuah cermin tentang bagaimana data dan opini saling bertaut menjadi narasi politik dan ekonomi.
Di satu sisi, Rocky Gerung yang sering kali tajam dalam kritiknya seolah mewakili suara skeptis terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai minim terobosan konkrit. Dalam pandangannya, Jokowi mungkin menjalankan tugas-tugasnya, namun tanpa sesuatu yang benar-benar inovatif atau menyentuh perubahan fundamental.
Di sisi lain, Purbaya Yudhi Sadewa mengangkat fakta ekonomi sebagai bantahan. Dalam statistik pertumbuhan ekonomi dan kebijakan fiskal, ada kenyataan bahwa Indonesia cukup berhasil melewati badai pandemi dengan strategi intervensi yang terukur—bahkan di saat dunia terpuruk secara ekonomi.
Masa pandemi COVID-19 menciptakan tekanan global yang luar biasa. Banyak negara harus menghadapi resesi, penurunan lapangan kerja, dan krisis sosial-ekonomi. Namun, Indonesia, di bawah arahan Jokowi, melakukan berbagai langkah konkret, mulai dari stimulus fiskal, perlindungan sosial, hingga dukungan terhadap sektor riil dan UMKM.
Program insentif pemerintah, seperti bansos dan subsidi, menjaga daya beli masyarakat, sementara restrukturisasi kredit dan bantuan modal berhasil menstabilkan sektor perbankan dan industri. Ini semua tidak akan terwujud tanpa peranan koordinasi yang kuat dari Istana, yang memimpin integrasi kebijakan dan sinergi antar kementerian.
Walau demikian, seperti diungkap Purbaya, tidak ada perjalanan yang mulus tanpa tantangan. Sejak pertengahan 2024 hingga 2025, Indonesia menghadapi perlambatan ekonomi yang mengusik optimisme. Faktor eksternal seperti dinamika geopolitik, fluktuasi harga komoditas, hingga tekanan inflasi global, bersamaan dengan kendala internal, menyebabkan sentimen bisnis dan konsumsi melemah.
Penggunaan istilah “ekonomi yang dibunuh” menimbulkan pertanyaan kritis terhadap kebijakan yang berjalan, misalnya dalam pengaturan regulasi, investasi, dan desentralisasi ekonomi. Ada anggapan bahwa sejumlah aturan atau ketidakpastian politik justru menjadi penghambat bagi pelaku usaha dan inovator.
Perdebatan ini mengingatkan kita pada pentingnya dialog yang sehat antara kritikus dan pembuat kebijakan. Data harus menjadi alat, bukan senjata untuk menjatuhkan atau menyanjung.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menunjukkan bahwa dengan memahami data dan konteks ekonomi secara mendalam, kritik bisa dijawab dengan elegan tanpa kehilangan substansi. Di sisi lain, kritik seperti yang disampaikan Rocky Gerung dapat menjadi pemantik refleksi dan evaluasi agar pemerintah tidak terlena oleh angka semata.
Dalam dinamika kebangsaan yang kompleks, suara sokratik seperti Rocky Gerung penting untuk mendorong pemerintahan agar terus mengevaluasi diri. Begitu pula kehadiran figur teknokrat seperti Purbaya yang membawa data sebagai alat legitimasi keberhasilan dan evaluasi kebijakan.
Keduanya, dalam dialog yang terkadang bernada sarkastik dan tajam, sejatinya memperkaya demokrasi Indonesia. Mereka membentuk siklus kritik yang sehat dan mampu menggerakkan bangsa ini untuk membawa kesejahteraan yang nyata melalui kebijakan yang inklusif, transparan, dan terukur.
Purbaya dan Rocky, dengan perbedaan perspektif mereka, mengajarkan kita satu hal penting: dalam setiap kebijakan dan kritik, ada harapan terbesar untuk bangsa yang lebih maju, adil, dan sejahtera. Sebuah pelajaran bahwa di tengah riuhnya perbedaan, data dan filsafat bisa bersanding, melahirkan harmoni dalam membangun masa depan Indonesia.
Penulis: Win