Dalam pusaran kehidupan modern, ijazah sering dianggap sebagai simbol keberhasilan akademis sekaligus tiket menuju status sosial yang lebih baik. Namun, benarkah sekadar setumpuk ijazah merupakan ukuran sejati dari keberhasilan sebuah pendidikan? Tan Malaka, salah satu pemikir besar bangsa, mengingatkan kita untuk menengok ke hakikat esensial pendidikan yang jauh melampaui gelar dan sertifikat.

Pendidikan: Lebih dari Sekadar Prestasi Individual

Ijazah tanpa substansi sosial pada akhirnya dapat melahirkan sebuah tragedi individualisme dan arogansi. Individu yang semata-mata mengejar gelar tanpa menginternalisasi nilai-nilai kemanusiaan berisiko kehilangan sentuhan empati dan kepedulian. Pendidikan semacam ini berubah menjadi pencapaian pribadi yang terisolasi dari konteks sosial, bahkan dapat menjadi pangkal kesenjangan dan fragmentasi masyarakat.

Filsuf pendidikan menegaskan bahwa hakekat belajar sejati adalah transformasi diri yang menjadikan seseorang mampu melihat dirinya bukan sebagai entitas terpisah, tetapi sebagai bagian integral dari komunitas dan alam di sekitarnya. Jika tidak demikian, ijazah hanyalah selembar kertas kosong tanpa makna dan dampak sosial.

Nilai Tertinggi Pendidikan: Merangkul dan Membina Masyarakat

Tan Malaka menawarkan perspektif kritis yang dalam: nilai pendidikan yang hakiki terletak bukan pada sekadar penguasaan ilmu, melainkan pada kemampuan menggabungkan pikiran dan tindakan dalam rangka membangun. Pendidikan mestinya memupuk kesadaran akan tanggung jawab sosial, mengasah kepekaan terhadap persoalan masyarakat, terutama mereka yang termarjinalkan dan paling sederhana.

Dalam pemikiran ini, seorang terdidik sejati adalah yang mampu mengangkat harkat dan martabat sesama dengan caranya sendiri, serta menjadikan ilmu sebagai alat konstruktif bagi perubahan sosial. Maka, kemanfaatan tertinggi sebuah pendidikan adalah saat ‘pikiran dan tangan bersatu membangun’ — saat ide-ide dan pengetahuan diwujudkan dalam karya nyata yang berkontribusi pada kemaslahatan bersama.

Individualisme dan Arogansi: Ancaman bagi Kesatuan Sosial

Ketika pendidikan tidak terharmonisasi dengan nilai kebersamaan, ia dapat memperkuat sikap egosentris dan arogan. Individu yang terlena dalam gelar akademis tanpa diimbangi rasa empati dan tanggung jawab sosial akan tumbuh menjadi pribadi yang terputus dari akar kemanusiaannya. Fenomena ini tidak hanya berdampak negatif pada hubungan antarindividu, tetapi juga memperlemah ikatan sosial yang menjadi fondasi keberlangsungan masyarakat.

Konsekuensinya, kesenjangan sosial semakin melebar, suara-suara minoritas terpinggirkan, dan solidaritas sosial terkikis. Inilah paradoks pendidikan yang ironis: kemajuan intelektual tanpa kemajuan moral dan sosial justru membawa kerentanan bagi harmoni bersama.

Pendidikan sebagai Jalan Menuju Kesatuan dan Pembebasan

Filsafat pendidikan seharusnya menempatkan pendidikan sebagai wahana untuk pembebasan: pembebasan dari kebodohan, dari ketidakadilan, dan dari keterasingan sosial. Pendidikan harus menjadi proses emansipatoris yang memungkinkan individu memahami keberadaannya sebagai bagian dari tatanan sosial yang luas dan berperan aktif di dalamnya.

Dengan demikian, gelar akademik bukan tujuan akhir, melainkan langkah awal untuk berkontribusi nyata dalam kehidupan sosial. Pendidikan yang berakar pada semangat solidaritas menjadikan ilmu sebagai jembatan untuk menyatukan perbedaan, mengikis sekat-sekat sosial, dan membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.

Kesimpulan: Pergulatan Esensial dalam Pendidikan

Apa gunanya sekadar setumpuk ijazah bila hanya melahirkan individualisme dan arogansi? Tan Malaka mengingatkan kita bahwa inti pendidikan sejati tidak sebatas pencapaian akademik, tetapi terletak pada penggabungan antara pengetahuan dan tindakan konstruktif demi kemanfaatan bersama — terutama bagi lapisan masyarakat paling sederhana sekalipun.

Tidaklah cukup hanya mengukir prestasi diri; kewajiban moral seorang terdidik adalah membangun, merangkul, dan memperjuangkan kebaikan bersama. Hanya dengan cara ini, pendidikan dapat memenuhi janjinya sebagai wahana pembebasan dan transformasi sosial yang sejati, bukan sekadar tumpukan kertas berlambang gelar yang sunyi makna.

Sebagaimana kata Tan Malaka: “Kemanfaatan tertinggi adalah saat pikiran dan tangan bersatu membangun.” Mari kita renungkan dan realisasikan pesan ini dalam kehidupan kita bersama, guna menciptakan dunia yang lebih manusiawi dan berkeadilan.

Penulis: Eko Windarto

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri