MALANG, Jawa Timur – Komunitas Penyair Perempuan Indonesia (PPI) kembali menggelar agenda rutin tahunan mereka, Pulang ke Kampung Tradisi (PKT).
Memasuki edisi kelima di bulan Juli 2025, para penyair perempuan ini menyambangi tanah Tengger dengan tema “Susur Sisir Tengger”. Acara ini bukan sekadar perjalanan biasa, melainkan sebuah misi mulia untuk menggali, menelusuri, dan merawat tradisi lokal demi menjaga warisan budaya negeri dari kepunahan, 11-13/7/2025.
Sebelumnya, PPI telah sukses menggelar PKT di Garut (2020), Yogyakarta (2021), Baduy (2023), dan Lampung (2024). Konsistensi ini menunjukkan komitmen PPI dalam mendokumentasikan dan mempopulerkan kekayaan budaya Indonesia melalui medium puisi.
“Susur Sisir Tengger”: Menyelami Makna di Balik Kata

Tema “Susur Sisir Tengger” di tahun 2025 ini mengandung makna mendalam. Kata “Susur” menyiratkan tindakan menyusuri, menelusuri, atau menyisir—jelajah mendalam pada suatu jalur.
PPI memulai penyusuran warisan budaya ini jauh sebelum keberangkatan, dengan perencanaan matang demi mencapai misi utama.
Menyelami sejarah Suku Tengger bukanlah tugas mudah, mengingat keterbatasan waktu. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Camat Tumpang, Firman Ardinata, S.STP., M.AP., yang menyebutkan bahwa untuk menyusuri budaya Tengger, waktu sehari, seminggu, bahkan sebulan pun masih kurang. Ia pun memotivasi PPI untuk memuisikan Tengger sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya.
Sementara itu, “Sisir” secara harfiah dapat diartikan sebagai aktivitas mencari atau menjelajahi sesuatu dengan cermat di area tertentu, atau melalui urutan dan pola.
PPI memang tak sekadar “asal jalan” dalam merawat warisan budaya. Mereka menyusun pola perjalanan PKT agar menghasilkan kontribusi nyata bagi sejarah bangsa.
Perjalanan diawali dari titik kumpul di Cengger Ayam, Malang, menyatukan para penyair dari berbagai penjuru Nusantara seperti Bandung, Banten, Bekasi, Jakarta, Surabaya, Tuban, Kupang, Garut, Bali, Kuningan, Yogyakarta, Pekanbaru, Riau, Bandar Lampung, Tulang Bawang Barat, Blitar, hingga Bogor.
Workshop Puisi dan Ritual Tengah Malam di Candi Jago
Pada hari pertama, sebelum menyisir kawasan Suku Tengger di Desa Ngadas, peserta PKT mengikuti workshop penulisan puisi bersama Rini Intama di Rumah Budaya Ratna (RBR), yang dipandu oleh Heti Palestina Yunani.

Rini menekankan pentingnya membaca, riset, dan praktik menulis untuk menghasilkan puisi berkualitas.
Ia juga mengingatkan agar penulis puisi tidak terjebak bahasa reportase, melainkan menggunakan diksi dan majas dengan baik.
Antusiasme peserta terlihat jelas, bahkan workshop ini juga terbuka untuk umum, menarik seorang siswi kelas tujuh sebagai peserta termuda yang tekun mencatat. RBR, menurut informasi dari pengemudi ojek online, memang selalu ramai pengunjung.
Malam harinya, PPI melanjutkan “sisir” ke Desa Tumpang, tepatnya di Padepokan Seni Mangun Dharma. Menjelang tengah malam, setelah disambut Ki Sholeh, pimpinan padepokan, beberapa peserta bersama Ki Sholeh dan muridnya menyisir ke Candi Jago.
Dalam keheningan, mereka menyaksikan ritual yang dilakukan Ki Sholeh di tengah gelapnya candi. Aroma hio yang dibakar menambah nuansa mistis menjelang tengah malam. Kunni Masrohanti, Ketua PPI dari Pekanbaru, turut serta dalam kegiatan “sisir” malam itu.
Malam pertama di Tumpang diwarnai hawa dingin yang menusuk. Walau telah berselimut tebal, sebagian peserta memilih mandi menjelang subuh untuk menyeimbangkan tubuh dengan suhu alam.
Menyapa Ngadas, Saling Mendoakan dalam Tradisi Tengger
Hari kedua, peserta PKT disuguhi sarapan nasi pecel ala Desa Tumpang, yang sukses menggugah selera para penyair dari berbagai daerah. Banyak yang baru pertama kali mencicipi pecel dan langsung terpikat oleh kelezatannya.
Pagi itu, agenda dilanjutkan menuju Desa Ngadas, Poncokusumo. Perjalanan panjang yang meliuk-liuk diiringi pemandangan alam yang menakjubkan.
Sekitar pukul sepuluh, rombongan tiba di Kelurahan Ngadas dan disambut hangat oleh Ibu Lurah Ngadas beserta para Srikandi yang mengenakan kebaya hitam dan sarung batik indah. Para Srikandi ini memiliki jabatan penting, salah satunya sebagai Dukun Adat (jika laki-laki disebut Legen).
Dalam sambutannya, Bapak Lurah mengucapkan “Hong ulun basuki langgeng,” sebuah sapaan yang bermuatan doa keselamatan dan kesejahteraan. Peserta PKT pun menjawab serempak, “Langgeng basuki,” yang berarti “semoga senantiasa selamat dan sejahtera.”
Inilah tradisi Suku Tengger: saling mendoakan dalam setiap pertemuan dan perjumpaan.
Sore harinya, setelah Asar, peserta kembali ke Tumpang untuk persiapan Pagelaran Seni Budaya.
Hawa dingin terobati dengan hidangan rawon, makanan khas Jawa Timur, dari tuan rumah. Acara ini dihadiri oleh Camat Tumpang, Ketua Dewan Kesenian Tumpang, Pimpinan Padepokan Seni Mangun Dharma, serta perwakilan komunitas sastra di Malang. Puisi dibacakan bergantian oleh para tamu, dan PPI menampilkan kolosal puisi yang indah dan memukau.
Perjalanan “Susur Sisir Tengger” ini meninggalkan jejak dan cerita di berbagai lokasi: Cengger Ayam, Rumah Budaya Ratna, Padepokan Seni Mangun Dharma Tumpang, Candi Jago, Candi Kidal, Ngadas Tengger, hingga Monggo Nang Njago. Sebuah catatan pun tertinggal di Kali Metro Malang: “Hidupkan imajinasimu dengan secangkir kopi.” (wul)
Penulis: Tri Wilaning Purnami
Editor: Win