Awal September 2025, dunia tercengang oleh sebuah video yang menyebar luas dari jantung Himalaya, Kathmandu, Nepal. Di situ, sebuah negeri kecil yang sarat sejarah dan budaya, tiba-tiba berubah menjadi medan amarah tak terperi.
Seorang pria paruh baya, Menteri Keuangan Nepal, Bishnu Prasad Paudel, digerakkan oleh gelombang massa tak terkendali. Bajunya dicopot, tubuhnya ditelanjangi, lalu ia dilempar ke sungai yang membelah jantung kota. Rekaman bergoyang dari kamera ponsel memperlihatkan teriakan penuh kemarahan yang bergemuruh di udara, sementara air sungai menyaksikan runtuhnya martabat sebuah negara dalam sedetik.
Adegan ini bukan sekadar kejatuhan seorang pejabat, melainkan simbol dari amarah kolektif yang terpendam rakyat yang merasa dibungkam, dipermainkan, dan dikhianati. Saat Perdana Menteri memilih menghilang, disusul oleh menteri lain yang ikut pergi menjauhkan diri, kata-kata tentang stabilitas sirna. Rakyat mengambil alih panggung, menjadi hakim jalanan dalam pertunjukan keadilan yang brutal dan mencekam.
Inilah potret paling gamblang tentang politik yang kehilangan arah: di saat negara tak mampu memikul amanahnya, rakyat berdiri sebagai hakim, saksi mata sekaligus pelaku luka negeri.
WUNC: Fondasi Aksi Kolektif
Menyaksikan kerusuhan itu, saya teringat pada gagasan penting dari Charles Tilly mengenai aksi protes yang tidak semata-mata kerusuhan, tetapi pertunjukan politik yang penuh makna.
Dalam kerangka WUNC: worthiness (kelayakan moral), unity (kesatuan), numbers (jumlah massa), dan commitment (komitmen), Charles Tilly memberi pondasi bagi setiap gerakan kolektif.
Seorang mahasiswa dengan jaket kampusnya, menunjukan worthiness mereka; buruh dengan seragam dan yel-yel yang seragam, memperlihatkan unity; ribuan yang mengalir memenuhi jalanan adalah bukti ‘numbers’; serta mereka yang bertahan di tengah serangan gas air mata, menegaskan ‘commitment’.
Namun, bagaimana saat pintu-pintu WUNC ditutup rapat oleh penguasa? Saat kelayakan diragukan, kesatuan dipecah, massa diabaikan, dan komitmen dilukakan? Di sanalah protes kehilangan wajahnya yang damai, berubah menjadi pertunjukan kekerasan yang tak berarti selain amarah yang meluap gemuruh.
Nepal mengalami tragedi itu: ketika saluran damai tertutup, jalan menjadi satu-satunya bahasa yang tersisa, meski kini membawa luka.
Negeri yang Terbakar: Lima Titik Titik Api Nepal
Apa yang membakar Nepal hingga menyulut amarah yang membabi buta? Tiga penyebab utama mengalir bersama:
Keresahan Ekonomi yang Mencekik
Kenaikan harga beras yang tak terkendali, langkanya minyak, dan pengangguran yang menjerat generasi muda menjadi bara utama. Seperti sinar yang menyala pelan namun pasti, ketidakadilan ekonomi menjadi percikan yang akan membakar seluruh negeri.
Fenomena ‘Nepo Kids’ dan Ketimpangan Sosial
Generasi muda Nepal marah melihat ‘anak-anak pejabat’ yang pamer kekayaan—mobil sport mewah, liburan ke Eropa, jam tangan mahal. Di sisi lain, rakyat sibuk berebut bahan pokok. Jurang sosial yang melebar ini bagaikan minyak yang dituangkan ke dalam api.
Larangan Media Sosial: Bungkamnya Suara Digital
Penutupan paksa Facebook, X, dan YouTube merenggut ruang ekspresi bagi generasi digital. Jika dunia maya adalah panggung mereka berteriak, maka kini panggung itu runtuh. Ketika dunia digital dibatasi, tubuh menjadi bahasa terakhir, dan jalanan panggung penuh darah dan ketakutan.
Selain itu, yang tak kalah melengking adalah hilangnya kepercayaan pada pemerintah yang berlaku, membuat hukum dan institusi menjadi tumpul dan tak berarti. Saat keadilan tak lagi diharapkan, rakyat memilih sendiri jalannya—meski harus dengan cara mempermalukan simbol negara.
Mengapa Nepal Lebih Buas dari Indonesia?
Indonesia baru melewati gelombang protes besar-besaran, namun belum sampai ke titik melucuti pejabat dan melemparkannya ke sungai.
Kenapa Nepal lebih ganas? Ada tiga alasan mendasar:
Kekosongan Otoritas
Ketika Perdana Menteri KP Sharma Oli memilih menjauh menjelang puncak gejolak, diikuti larinya Menteri Dalam Negeri, negara tampak tanpa nakhoda. Dalam kekosongan itu, massa mengambil alih kendali, menjadi ‘penguasa’ di jalanan.
Trauma dan Budaya Kekerasan yang Menancap Dalam
Nepal bukan asing dengan konflik bersenjata dan perang Maois yang membekas dalam jiwa kolektifnya. Kekerasan menjadi semacam bahasa politik yang sudah terlatih dan mudah dipakai ketika kata-kata tak lagi cukup.
Kegagalan Institusi dan Politik Dinasti
Korupsi yang menancap kuat, reformasi yang mandek, dan kepercayaan yang jatuh membentuk ladang subur bagi kebencian. Ketika hukum dan parlemen tak dihargai lagi, rakyat memilih jalur paling kasar sebagai alat pembelaan.
Indonesia tentu berbeda. Meski rapuh, sisa kepercayaan pada institusi demokrasi masih ada—dari Presiden, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, hingga media dan organisasi masyarakat sipil yang bersuara keras.
Modal sosial ini adalah jembatan rapuh yang harus dijaga dan diperkuat agar kobaran api kerusuhan tak meluas.
Menjaga Kepercayaan: Kunci Stabilitas Indonesia
Bank Dunia memang mencatat penurunan inflasi Nepal sampai 2-3% pada pertengahan 2025 dan catatan cadangan devisa mencapai puncak tertinggi, namun angka makro ini menipu. Realita di bawahnya adalah pengangguran muda yang tetap menggenggam 20% dan jurang kesempatan yang kian dalam.
Inilah kelemahan yang menggerus pondasi sosial dan politik, yang kemudian menimbulkan ledakan amarah.
Indonesia harus belajar dari sini. Jangan biarkan ketidakadilan ekonomi, kesenjangan yang mencolok, serta pembungkaman ruang ekspresi digital menjadi bibit kerusuhan. Karena, sebuah bangsa hanya setegar kepercayaan yang dimilikinya.
Penulis: Eko Windarto