BOYOLALI (jatimlines.id) – Menyambut datangnya bulan suci Ramadan, warga di Boyolali menggelar tradisi Sadranan atau Nyadran. Tradisi turun temurun untuk mendoakan pada leluhur yang telah meninggal dunia ini, mulai pertengahan bulan Syaban atau Ruwah hingga akhir bulan jelang bulan Ramadhan, secara bergiliran.

Hari ini, warga Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo dan Desa Sruni Kecamatan Musuk, bersamaan menggelar tradisi Nyadran. Senin 26 Februari 2024. Sejak pagi, ratusan warga berdatangan ke makam Puroloyo di Dukuh Tunggulsari. Mereka juga membawa tenong berisi aneka makanan. Seperti, sagon, wajik, jadah, klepon serta aneka makanan ringan dan buah buahan.

Makanan tersebut akan dimakan bersama serta dibagikan kepada para pengunjung sadranan.

Usai doa, tenong langsung dibuka. Siapapun boleh mengambil. Sebagian langsung dimakan, namun ada pula yang dimasukkan dalam tas plastik untuk dibawa pulang sebagai oleh- oleh.
Warga meyakini bahwa semakin banyak yang mengambil makanan dalam tenong, maka akan semakin membawa berkah. Namun, kemeriahan sadranan belum berakhir.

Warga akan saling berkunjung dan saling memaafkan. Bahkan, banyak warga dari luar Cepogo, bahkan hingga luar kota yang memiliki kerabat di Cepogo juga pulang. Selain untuk ziarah ke makam leluhur, juga silaturahmi.

Lia, warga asal Semarang mengaku pulang ke Cepogo bersama keluarganya. Selain untuk ziarah ke makam keluarganya, juga untuk silaturahmi. Semua berkumpul dalam sehari itu.

“Namun tahun ini, saudara di Pekanbaru berhalangan datang.”

Sesepuh warga Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, KH Maskuri menjelaskan, tradisi sadranan di bulan Ruwah digelar warga di wilayah desa- desa di lereng Merapi dan Merbabu, Boyolali ternyata sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam.

“Ya sudah lebih dari 450 tahun, yaitu sejak masa Kerajaan Demak.”

Tradisi tersebut bermula dengan kedatangan Syekh Maulana Ibrahim, penyebar agama Islam asal Demak. Saat itu, sebagian besar warga Cepogo masih memeluk agama Hindu dan Budha. Hal itu ditandai dengan keberadaan Candi Lawang dan Candi Sari.

Sayangnya, kedatangan Syekh Maulana Ibrahim kurang diterima juga tidak melarang warga membawa makanan ke makam. Namun makanan itu bukan untuk memberikan sesajen kepada orang yang sudah meninggal.

“Namun, makanan diberikan kepada para tamu yang datang berdoa di makam. Dari situlah, warga kemudian menerima Islam hingga agama Islam semakin berkembang hingga sekarang. Dan tradisi sadranan itu tetap dilestarikan hingga kini.”

Sementara di Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Sadranan diawali dengan bubak atau bersih-bersih makam, yang telah dilakukan sehari sebelumnya atau Minggu 25 Februari pagi kemarin. Warga bergotong royong membersihkan rumput-rumput di makam tersebut.

Kemudian hari ini baru dilaksanakan sadranan. Ratusan warga berbondong-bondong ke makam dengan membawa aneka kue, makanan dan lauknya yang dibawa dalam tenong atau rinjing. Warga juga membawa bunga mawar sebagai bunga tabur di makam para leluhurnya. 

“Sadranan disini dilaksanakan setiap tanggal 15 Ruwah,” kata Jiman tokoh masyarakat setempat. (Gimo)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan