Senari: Penjaga Terakhir Lontar Yusuf dari Kemiren

Di sebuah desa kecil bernama Kemiren, di ujung Pulau Jawa bagian timur, hiduplah seorang lelaki tua yang tampak sepi—tapi sejatinya, ia tak pernah benar-benar sendiri. Namanya Senari. Ia bukan pahlawan dalam buku sejarah, bukan tokoh besar yang wajahnya terpampang di baliho. Namun di balik kain lusuh dan tangan yang kotor, tersembunyi warisan besar yang kita kenal sebagai lontar—lembaran daun kering yang ia sulap menjadi garis hidup.
Senari adalah penulis lontar terakhir dari generasinya. Lulus dari Sekolah Rakyat Gelagah pada tahun 1969, ia memilih jalan sunyi yang tidak tercatat dalam buku pelajaran—menulis Lontar Yusuf, bukan hanya dengan tangan, tapi dengan hati, dan cinta yang tak pernah meminta kembali.
Tradisi Mocoan Lontar Yusuf—tradisi lisan yang kini hampir lenyap—berutang banyak padanya. Ia bukan sekadar penyalin, tetapi penjaga lidah tua. Ia adalah pendengar setia, sekaligus penutur kisah Yusuf dengan bahasa yang tak bisa diajarkan, hanya bisa diwariskan. Selama hampir lima dekade, lebih dari 200 naskah telah ia tulis—bukan untuk dijual mahal, bukan untuk dilelang, tapi untuk dibaca, dihayati, dan diteruskan.
Keistimewaan lontar buatan Senari bukan hanya pada tulisannya yang rapi, tapi juga pada kain pembungkus yang ia jahit sendiri. Benangnya sederhana, tangannya berkilau oleh kerja keras, tapi jiwanya penuh keyakinan. Tak ada satu pun lontar yang ia serahkan kepada toko. Baginya, lontar adalah tubuh yang harus ia rawat sendiri, dari kulit hingga isi.
Kini, Senari menjalani hari dalam kesunyian. Bersama sang istri yang sudah tak bisa berjalan, dan seorang anak yang sakit sejak kecil, Senari tak lagi menulis. Tangan yang dulu menari di atas daun lontar, kini lebih sering menggenggam doa. Tapi meskipun raganya melemah, warisannya tetap kokoh. Sang penari lontar kini telah menerima penghargaan budaya dari Indonesia. Bukan karena belas kasihan, tetapi karena kekhawatiran akan hilangnya jejak.
Sementara itu, Adi Purwanto (dikutip dari Kompas.com), Ketua Kelompok Mocoan Lontar di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi mengaku saat ini Senari adalah satu satunya penulis Lontar Yusuf yang masih hidup di Desa Kemiren. Ia mengkhawatirkan karena keahlian Senari untuk menyalin Kitab Lontar Yusuf masih belum ada yang mewarisi.
Ia menjelaskan Lontar Yusuf terdiri dari empat bagian penting yang bercerita tentang kehidupan Nabi Yusuf mulai tentang asmara, doa-doa, alam dan ketika Yusuf dinobatkan menjadi raja serta ketika Yusuf di penjara. “Lontar Yusuf ini dikenal oleh masyarakat Using sejak agama Islam masuk di Banyuwangi. Merupakan sarana berdoa kepada Tuhan dengan harapan agar kehidupan seperti Nabi Yusuf baik dibacakan saat pernikahan ataupun saat khitanan,” kata Kang Pur. Saat ini di Desa Kemiren ada beberapa kelompok Mocoan Lontar Yusuf yang masih aktif melakukan kegiatan tersebut seminggu sekali. “Tapi mayoritas mereka yang ikut mocoan berusia di atas 50 tahun dan mereka mempunyai Kitab Lontar Yusuf yang di tulis oleh Pak Senari,” jelasnya.
Lontar Yusuf masih hidup.
Jawa Timur adalah tanah yang kaya akan budaya—dan Senari adalah salah satu napas terakhirnya.
Penulis: Firnas Muttaqin