Lebih dari itu, Munif menekankan dampak sosial dari konsumsi produk yang tidak halal. Ia menyitir ceramah dari seorang profesor bahwa “sekali saja makan yang haram, hati bisa tertutup dari kebenaran.” Ia mengingatkan bahwa sifat bengis, kasar, bahkan kriminalitas bisa berakar dari makanan yang tidak jelas kehalalannya.

Dalam penutupnya, Munif memuji pelaku usaha non-Muslim yang justru memberikan ruang ibadah bagi karyawannya yang Muslim. Menurutnya, ini adalah pelajaran toleransi yang seharusnya menjadi cermin bagi pengusaha Muslim. “Jangan sampai kita abai soal tempat shalat. Ini bagian dari menjamin proses halal,” katanya.

Kesadaran masyarakat, menurut Munif, sebenarnya telah meningkat. Namun ia mengimbau agar perhatian tak hanya terbatas pada makanan dan minuman (mamin), melainkan juga meluas ke kosmetik, obat-obatan, hingga pakaian. “Sekarang bahkan kosmetik sudah ada sertifikasi halalnya. Jadi, suami juga perlu ikut andil — jangan hanya istri,” ujar Munif sambil tersenyum.

Pesan utama dari diskusi ini jelas: halal bukan hanya soal label, melainkan tentang nilai hidup. Keberkahan, ketenangan, dan keberhasilan sejati hanya bisa diraih bila usaha dilandasi niat yang bersih, proses yang syar’i, dan tanggung jawab sosial kepada konsumen. Dalam dunia bisnis yang kian kompetitif, dakwah halal seperti yang dilakukan Munif bukan hanya penting — tapi sangat mendesak. (*)

1 2

Penulis: Fim

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri