Malang – Sebuah desa di Malang mengimbau warga untuk mengungsi sementara waktu menjelang penyelenggaraan karnaval yang menggunakan sound horeg, sebuah jenis sound system dengan suara sangat keras yang kontroversial karena penampilannya telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.
Kegiatan yang direncanakan berlangsung pada Rabu sore (23/7/2025) ini memunculkan kekhawatiran akan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan masyarakat sekitar.
Pemerintah Desa Donowarih, Kecamatan Karangploso, Malang, telah mengeluarkan surat himbauan kepada warga yang tinggal di dekat area karnaval agar menjaga jarak atau mengungsi sementara, khususnya bagi keluarga yang memiliki bayi, anak kecil, lansia, ataupun anggota keluarga yang sedang sakit. Surat ini bertujuan untuk meminimalkan risiko dan ketidaknyamanan selama acara berlangsung.
“Kami mengimbau kepada seluruh warga khususnya yang tinggal di sekitar jalan raya, agar menjaga jarak atau melakukan pengamanan sementara dari lokasi kegiatan demi kenyamanan bersama dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan mengingat sound system yang akan digunakan memiliki intensitas suara sangat keras,” dikutip dari surat resmi Desa Donowarih.
Sekretaris Desa Donowarih, Ary Widya Hartono, mengonfirmasi pengeluaran surat tersebut.
Ia juga menuturkan bahwa sebagian warga memang memilih untuk mengungsi sementara waktu demi kenyamanan dan keamanan keluarga mereka selama karnaval berlangsung.
Menurut Ary, acara ini merupakan tradisi rutin yang digelar setiap dua tahun sebagai bagian dari ritual selamatan warga yang bersifat swadaya masyarakat.
“Saya sudah menjelaskan kepada kepolisian dan warga bahwa surat ini sebagai tindakan preventif kami. Kami mengupayakan acara berjalan lancar tanpa menimbulkan masalah serius,” ujar Ary.
Sound horeg merupakan fenomena budaya yang populer di Malang dan sekitarnya. Namun, keberadaan sound system dengan suara sangat keras ini memunculkan banyak keluhan dari masyarakat luas.
Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur pada pertengahan Juli 2025 mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 yang menetapkan penggunaan sound horeg haram apabila menimbulkan gangguan melebihi ambang batas, membahayakan kesehatan, atau merusak fasilitas umum dan harta benda orang lain.
Dalam pernyataan resmi, MUI Jatim menegaskan, “Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara secara wajar untuk kegiatan yang bersifat positif seperti resepsi pernikahan, pengajian, shalawatan, dan lain-lain serta bebas dari hal-hal yang diharamkan hukumnya diperbolehkan. Namun, apabila penggunaannya berlebihan dan merugikan pihak lain, maka hukumnya haram.”
Meskipun demikian, kegiatan sound horeg tetap marak dan diminati masyarakat di Malang. Hal ini terlihat dari jumlah peserta karnaval yang menggunakan sound horeg mencapai 11 unit sound system berukuran besar, serta animo masyarakat yang mengikuti acara tersebut.
Fenomena kontroversial sound horeg tidak hanya sebatas gangguan suara nyaring, namun juga berujung pada konflik sosial.
Pada 13 Juli 2025, sebuah insiden melibatkan warga Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang, dengan peserta karnaval sound horeg yang tengah melakukan pawai.
Kejadian tersebut terjadi ketika warga memprotes suara keras di tengah karnaval karena mengganggu anaknya yang sedang sakit.
Protes dari warga berakhir ricuh dan menyebabkan bentrokan fisik. Warga tersebut dipukuli oleh para peserta karnaval, hingga mengalami luka di bagian pelipis. Beruntung, kejadian ini dapat diselesaikan melalui mediasi yang melibatkan pihak kepolisian dan kedua belah pihak.
Menanggapi peristiwa tersebut, Polresta Malang Kota memperketat pengawasan dan menegakkan larangan penggunaan sound horeg di wilayahnya.
Kepala Bagian Operasional Polresta Malang Kota, Kompol Wiwin Rusli, menyatakan bahwa penggunaan sound horeg berpotensi menimbulkan dampak destruktif dan mengganggu ketertiban umum.
“Kami menegaskan, sound horeg dilarang di wilayah Kota Malang karena dampak negatif yang ditimbulkannya,” ujar Kompol Wiwin.
Penulis: Win