Menguak Islam di Barat: Diskusi Mendalam Ustadz Muhammad Nuruddin dan Muhammad Iqra Nugroho Sugiarto

Ustadz Muhammad Nuruddin (kanan) Muhammad Iqra Nugroho Sugiarto (kiri

Sebuah perbincangan menarik tersaji dalam podcast Mystical Dimensions of Islam yang dipandu oleh Ustadz Muhammad Nuruddin bersama mahasiswanya, Muhammad Iqra Nugroho Sugiarto. Diskusi ini mengupas tuntas pengalaman Iqra dalam menempuh pendidikan Teologi Islam di Universitas Osnabrück, Jerman—sekaligus menepis stigma negatif tentang studi Islam di Barat.

Profil Muhammad Iqra Nugroho Sugiarto: Dari Pesantren ke Jerman

Muhammad Iqra Nugroho Sugiarto, 26 tahun, merupakan mahasiswa Magister Teologi Islam di Universitas Osnabrück. Ia berasal dari Bogor dan memiliki latar belakang pendidikan pesantren, yakni di SMP Darunnajah Jakarta dan SMA Amanatul Ummah Mojokerto. Iqra tiba di Jerman pada tahun 2018 melalui sebuah beasiswa SMA.

“Saya sebenarnya sampai Jerman itu belum ada rencana mau ngambil jurusan agama. Bukan rencana awal, kepeleset sebenarnya,” ujarnya.

Iqra awalnya bercita-cita kuliah di Al-Azhar, Mesir, namun jalan hidupnya berubah setelah menerima beasiswa ke Jerman. Meski mendapat beasiswa, ia tetap harus bekerja paruh waktu demi mencukupi kebutuhannya.


Studi Islam di Barat: Antara Stigma dan Realitas

Ustadz Nuruddin menyinggung stigma umum bahwa mahasiswa yang belajar agama di Barat seringkali pulang membawa pemikiran “syubuhat” (keraguan) atau bahkan menentang konsensus ulama. Namun, ia melihat Iqra sebagai pengecualian yang justru menjaga pemahaman Islam yang lurus dan bersanad.

Iqra menilai bahwa stigma tersebut lebih cocok jika dikaitkan dengan era sebelum tahun 2000, saat studi Islam di Barat masih didominasi pendekatan orientalis. Saat ini, banyak pengajar di kampus Barat yang justru berlatar pendidikan Islam klasik di Timur Tengah.

Salah satunya adalah Syekh Mahmud Kelner, guru besar Iqra di Osnabrück, yang pernah belajar selama 10 tahun di Damaskus dan 2 tahun di Mesir. Ia adalah inisiator jurusan Teologi Islam di Osnabrück dan mengajarkan kitab-kitab klasik seperti Khaidah Bahiyah dan Jauharut Tauhid dalam struktur kurikulum berjenjang: Safa, Marwah, Mina, Muzdalifah, hingga Raudhah.

“Beliau hidup di Jerman, tapi khazanah keilmuannya dari Timur Tengah,” jelas Iqra.


Pentingnya Fondasi Keilmuan dan Sanad

Ustadz Nuruddin menekankan bahwa lemahnya fondasi ilmu sering menjadi penyebab mahasiswa mudah terpengaruh pemikiran Barat. Ia mengibaratkan seperti “orang belum bisa nyetir tapi sudah masuk jalan tol.”

Sebaliknya, para ulama Al-Azhar yang dikirim ke Sorbonne justru hadir dengan bekal kuat dan mampu mendobrak narasi orientalis. Contoh nyatanya adalah Syekh Abdul Halim Mahmud dan Syekh Abdullah Dros, dua ulama besar yang tetap istiqamah meski berada di tengah sekularisme Eropa.


Islamic Studies vs Islamic Theology di Jerman

Iqra menjelaskan dua pendekatan studi Islam di Jerman:

  • Islamic Studies: Mempelajari Islam dari luar (aussen perspektive), mirip studi orientalis. Pengajarnya bisa non-Muslim.
  • Islamic Theology: Mempelajari Islam dari dalam (innen perspektive), dengan mayoritas pengajar dan mahasiswa Muslim. Contohnya adalah program yang ia ikuti di Osnabrück.

Potret Jerman: Disiplin, Sekuler, dan Sejahtera

Iqra dan Ustadz Nuruddin juga membahas karakter masyarakat Jerman. Meski mayoritas sekuler, warga Jerman dikenal disiplin dan adil dalam sistem sosial. Gaji pekerja biasa cukup untuk hidup layak, dan pelayanan publik berjalan efisien tanpa korupsi.

“Jangankan Teologi Islam, Teologi Kristen aja peminatnya sedikit,” kata Ustadz Nuruddin, menyoroti rendahnya minat terhadap studi agama.

Islamofobia memang masih ada, terutama di wilayah Jerman Timur yang dulunya dikuasai rezim komunis. Namun di lingkungan akademik, umat Muslim cenderung lebih diterima.

Iqra mencontohkan upaya para cendekiawan Muslim dalam menerjemahkan konsep-konsep Islam ke bahasa Jerman seperti sujud menjadi Niederwerfung, dan hidayah menjadi Rechtleitung. Ini membantu menjembatani pemahaman lintas budaya.


Indonesia dan Jerman: Cermin Diri Umat Islam

Sebagai penutup, Ustadz Nuruddin mengangkat perbandingan menarik:

  • Kiblat salat adalah Makkah.
  • Kiblat ilmu keislaman adalah Al-Azhar.
  • Namun, kiblat akhlak umat Islam seharusnya Indonesia.

Sayangnya, meski memiliki banyak ulama dan kekayaan alam, Indonesia masih bergulat dengan korupsi dan ketimpangan. Sementara Jerman, negara sekuler dengan sumber daya terbatas, justru lebih adil dan tertib.

“Islam itu terhalangi keindahannya oleh orang Islam itu sendiri,” pungkas Ustadz Nuruddin, mengutip ungkapan Al-Islam mahjubun bil muslimin.


Pesan untuk Calon Mahasiswa Studi Islam di Barat

Iqra memberikan pesan kepada calon mahasiswa studi Islam:

“Jangan takut belajar di Eropa, khususnya Jerman. Islam di sini berkembang pesat, dan Teologi Islam diajarkan secara ilmiah sekaligus bersanad.”

Penulis: Fim

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri