Artikel ini idenya dari penggalan kata pada artikel pak Asep di bawah ini:
“Tidak semua tubuh yang disentuh, diinginkan. Dan tidak semua yang membayar, mencintai.”
Kalimat sederhana itu menyimpan kepingan cerita yang terlalu sering tersembunyi di balik stigma sosial. Ketika kita bicara tentang perselingkuhan, yang biasanya terbayang adalah pengkhianatan, kebohongan, atau luka hati. Tapi, apa jadinya kalau kita menengok lebih dalam? Mendengar bisikan halus dari setiap tempat dan hati yang terlibat?
Mengurai Tabir Tempat “Selingkuh” yang Sebenarnya
Apa sih sebenarnya tempat selingkuh itu? Bukan semata ruang fisik, bukan cuma sudut-sudut gelap yang asing atau kafe-kafe penuh rahasia. Tempat selingkuh itu—mungkin—adalah ruang batin yang kosong, sebuah luka menganga yang sengaja disembunyikan dalam bentuk kedekatan sementara.
Dalam konteks ini, “tempat” tak perlu jadi lokasi tertentu. Tempat selingkuh adalah tempat di mana cerita-cerita pelik, luka rahasia, dan harapan yang teronggok berhimpun. Seperti pada sang lelaki yang “hanya butuh pelarian”, yang menyerahkan separuh wujudnya untuk sebuah pelipur lara sementara. Tempat itu adalah ruang di mana ia merasa didengar, dimengerti, tapi juga sebuah ironi karena esok ia kembali ke rumah, ke pelukan istri dan anak-anak yang belum tahu bahwa hatinya terselingkuh dalam diam.
Tubuh, Rasa, dan Makna Kepemilikan yang Terabaikan
“Aku tidak berharap apa pun. Tapi setiap malam setelah dia pergi, ada kehampaan yang diam-diam menetap.”
Ada begitu banyak tubuh yang disentuh tanpa cinta, tanpa rasa; ada begitu banyak keinginan yang bukan karena cinta tapi karena kebutuhan untuk merasa dilihat, dimiliki, bahkan jika sebentar. Di situlah letak paradoksnya.
Seringkali, kita lupa bahwa manusia itu makhluk sosial yang haus rasa memiliki, bukan sekadar kehadiran fisik. Saat hubungan resmi lelah, diskusi kandas, atau cinta mulai gugur, kehadiran seseorang di luar rumah bisa menjadi obat mujarab—meski hanya untuk mengobati luka lama.
Namun, luka itu sendiri tidak disembuhkan, hanya ditutup sementara oleh kehangatan yang rentan dan penuh kontradiksi. Maka tempat selingkuh itu bukan hanya soal tumpangan jasmani, melainkan ruang jagal hati yang mencari penghiburan, ruang bisu yang diisi oleh rasa rindu yang tak pernah benar-benar disentuh.
Bukan Penghakiman, Tapi Penyambutan Akan Realita
Tulisan ini bukan untuk menghakimi, tapi membuka ruang kontemplasi yang jujur dan tanpa ilusi. Karena kenyataan menyimpan banyak warna abu-abu. Orang-orang yang terlibat dalam perselingkuhan bukan tokoh antagonis dalam cerita hitam putih, melainkan manusia dengan luka, rindu, dan cerita yang kompleks.
Mungkin mereka di sana karena kesepian yang melekat, karena perkawinan yang kehilangan komunikasi, atau ada juga yang betul-betul mencari pemulihan diri lewat hubungan sementara. Atau, mungkin seperti lelaki yang membawa foto keluarganya di dompet dan perempuan yang menjadi tempat pelariannya, masing-masing hanya ingin merasa “dimiliki” walau sesaat.
Merangkai Makna Baru tentang Kesetiaan dan Cinta
Ketika bicara soal kesetiaan, sering dimaknai sebagai pengabdian sepenuh hati pada satu orang saja. Tapi kesetiaan juga bisa berarti setia pada kejujuran tentang hati sendiri. Bagaimana kalau ruang untuk mengakui luka dan kebutuhan batin itu dibuka, bukan malah ditutup dengan stigma dan kebencian?
Perselingkuhan selalu menyakitkan, namun jangan lupakan bahwa di balik sebuah pengkhianatan ada rasa yang terpampang; ada ruang kosong yang ingin diisi; ada hati yang tidak lagi di tempat yang tepat.
Penulis: Win