“Enggak wajar lah. Kita yang seharian narik dari pagi susahnya setengah mati, masa wakil rakyat masih bilang Rp50 juta itu kurang? Pajak kita ini dipakai buat apa lagi?” keluhnya.
Sebenarnya, gaji pokok anggota DPR berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 hanya sekitar Rp4 juta per bulan. Tapi, jika dihitung dengan berbagai tunjangan—mulai dari tunjangan jabatan, komunikasi, sidang, hingga biaya perjalanan dinas—jumlahnya bisa tembus Rp100 juta lebih per bulan.
Ironisnya, di saat publik masih ramai memperdebatkan besaran gaji dan tunjangan, muncul pula isu lain dari gedung parlemen. Anggota Komisi VI DPR, Nasim Khan, mengusulkan agar PT KAI menyediakan kembali gerbong khusus merokok di rangkaian kereta. Ia menilai, dari panjangnya rangkaian kereta, seharusnya bisa disisihkan satu gerbong sebagai kafe dan smoking area.
“Kalau di bus bisa ada smoking area, kenapa di kereta tidak? Ini bisa menguntungkan juga buat PT KAI,” kata Nasim saat rapat dengar pendapat.
Dua isu ini—tunjangan fantastis dan usulan gerbong rokok—semakin mempertebal kesan jarak antara kehidupan elite politik dan kenyataan sehari-hari masyarakat. Saat rakyat berjuang memenuhi kebutuhan dasar, para wakilnya di Senayan tampak sibuk memperjuangkan kenyamanan pribadi. (*)
Penulis: Fim