INDONESIA, JATIMLINES.ID – Lagu punk “Bayar, Bayar, Bayar” dari band Sukatani asal Purbalingga menciptakan kontroversi yang mencengangkan dalam waktu singkat.
Awalnya dianggap sebagai satire jalanan yang tak berbahaya, lirik tajamnya menganggu kenyamanan sebagian pihak, hingga lagu ini ditarik dari peredaran dengan cepat.
Jika ada kompetisi “Lagu yang Paling Cepat Menghilang dari Internet,” lalu “Bayar, Bayar, Bayar” bisa jadi juara bertahan.
Di platform Spotify? Kosong. Media sosial? Sunyi. Bahkan, para penggemarnya diminta untuk menghapus rekaman apa pun. Seakan-akan lagu ini sejenis virus komputer yang bisa merusak sistem jika terlalu banyak didengarkan.
Klarifikasi dan permintaan maaf dari personel band Sukatani terasa seperti sebuah ritual, di mana vokalis punk dengan wajah tanpa topeng memohon maaf di depan kamera. Mereka menegaskan bahwa lagu hanya ditujukan pada oknum tertentu, meski terlihat gemetar dan ragu dalam klarifikasi mereka.
Ironisnya, lagu yang seharusnya menjadi kritik sosial malah berakhir menjadi anthem perlawanan. Muhammad Syifa Al Lufti, vokalis Sukatani, yang juga seorang guru di SDIT, bahkan dipecat dari sekolah setelah identitasnya terbongkar. Ini mengundang pertanyaan seputar stereotip tentang guru dan musik punk.
Pembredelan Karya Musik di Indonesia
Kasus pembredelan lagu “Bayar, Bayar, Bayar” mencerminkan perlakuan terhadap kritik di Indonesia. Sejarah mencatat beberapa contoh pembredelan karya musik di Tanah Air, mulai dari lagu “Genjer-Genjer” yang diidentikkan dengan PKI hingga lagu-lagu yang mengkritik pemerintahan Orde Baru.
Selama Orde Baru, lagu-lagu seperti “Mimpi di Siang Bolong” Doel Sumbang dan “Surat untuk Wakil Rakyat” Iwan Fals dilarang karena dianggap melanggar aturan pemerintah. Sedangkan era Reformasi juga melihat beberapa lagu seperti “Cinta Satu Malam” Melinda dan “Paling Suka 69” Julia Perez yang dilarang karena dianggap vulgar.
Meskipun ada upaya pembredelan karya musik, seringkali hal tersebut justru membuat lagu dan penyanyinya semakin dikenal luas.
“Bento” dan “Bongkar” oleh Iwan Fals adalah contoh lagu-lagu kritik yang tetap populer meski sempat dibredel.
Pelajaran dari Kontroversi Lagu “Bayar, Bayar, Bayar”
Kasus “Bayar, Bayar, Bayar” menjadi bahan refleksi bagi perlakuan terhadap kritik dan ekspresi seni di Indonesia.
Kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang fundamental, termasuk dalam menyuarakan kritik sosial. Tanpa adanya pembatasan yang berlebihan, masyarakat dapat berpartisipasi dalam diskusi konstruktif untuk menyoroti permasalahan yang ada.
Lagu punk menjadi salah satu medium yang mampu menyorot realitas sosial dengan cara yang tajam, mengena, dan menohok.
Lagu Punk sebagai Cermin Realitas Sosial
Lagu punk seringkali menjadi sorotan terhadap realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Melalui lirik-liriknya yang provokatif, lagu-lagu punk mampu menggambarkan ketidakpuasan, ketimpangan, atau ketidakadilan yang mungkin tidak tersuarakan secara terbuka.
Dengan gaya yang kontroversial, lagu punk menjadi suara bagi individu atau kelompok yang kurang terwakili dalam ruang publik.
Memperjuangkan Kebebasan Berekspresi tanpa Takut Pembatasan
Dari kontroversi seputar pembredelan lagu “Bayar, Bayar, Bayar,” penting untuk mempertahankan kebebasan berekspresi tanpa rasa takut akan pembatasan.
Kritik yang disampaikan melalui seni atau musik perlu dihargai sebagai bentuk pembenaran demokrasi yang berkembang. Kritik yang konstruktif dapat menjadi pendorong perubahan positif dalam masyarakat.
Menghargai Kritik Sebagai Bagian dari Demokrasi yang Berkembang
Kritik yang sehat dan konstruktif perlu dihargai sebagai bagian integral dari demokrasi yang berkembang. Dengan memberikan ruang bagi kritik, masyarakat dapat belajar dari masukan-masukan konstruktif untuk melakukan perbaikan dan inovasi.
Keberagaman pendapat dan kritik yang disuarakan secara terbuka memperkaya diskusi publik dan membantu membangun masyarakat yang lebih inklusif dan dinamis.
Kesimpulan
Kontroversi seputar lagu “Bayar, Bayar, Bayar” dari band Sukatani menggambarkan kompleksitas penanganan kritik sosial melalui karya seni di Indonesia.
Sejarah pembredelan karya musik juga memberikan gambaran tentang tantangan dalam menyuarakan pendapat secara terbuka.
Dalam menghadapi kontroversi semacam itu, penting untuk memperjuangkan kebebasan berekspresi dan mendukung dialog yang konstruktif untuk menciptakan ruang yang aman bagi kritik dan perbedaan pendapat.
Semoga kisah lagu “Bayar, Bayar, Bayar” bisa menjadi pembelajaran berharga bagi semua pihak tentang pentingnya menghargai hak atas ekspresi serta kritik yang positif dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Penulis: Eko Windarto
Editor: Red