Saya menarik napas panjang, mencoba merangkai kata yang layak menjadi jawaban atas pertanyaan itu. “Benar, kita hidup di zaman algoritma yang mengatur apa yang bisa kita lihat dan baca. Menulis tidak lagi sebatas menyalurkan ide melalui huruf-huruf yang bergerak statis. Menulis kini harus menari dan bernyanyi mengikuti irama algoritma yang sering kita taklukkan.”

Dalam dunia yang penuh distraksi ini, tulisan yang menjadi viral biasanya bukan tulisan yang paling mendalam atau paling benar, tapi tulisan yang paling cepat menimbulkan reaksi, yang seringkali memanfaatkan emosi ketimbang rasio.

Menulis saat ini ibarat sedang berperang di medan perang digital yang penuh dengan komentar pedas, kritikan, dan penghakiman yang kadang tak masuk akal. Jika seorang penulis masih bertahan, itu karena cinta yang tulus pada tulisan, bukan sekadar mencari validasi atau popularitas.

Warkop: Menulis di Warung Kopi, Dalam Riuh Kehidupan

Istilah “Warkop” yang saya ciptakan sendiri menggambarkan proses menulis yang saya jalani: di warung kopi, sambil menikmati segala hiruk-pikuk yang ada di sekitar saya. Mesin blender yang berdengung, teriakan abang ojek online yang sibuk mengantarkan pesanan, serta suara riuh anak-anak yang asyik bermain game Mobile Legends di meja sebelah, semuanya menjadi latar hidup yang memberi inspirasi sekaligus kesulitan.

Kondisi ini melatih seorang penulis untuk tetap fokus sekaligus membiasakan diri dengan kebisingan dan berbagai gangguan. Di sinilah saya percaya, bahwa kreativitas dan ketahanan mental sangat penting untuk bisa bertahan menjadi seorang penulis di era digital.

Transformasi Tradisi Menulis

Menulis di masa lalu seringkali dianggap sebagai sebuah ritual serius dan sakral: pena dan tinta, kertas berkualitas, tempat hening yang tak boleh diganggu. Namun, kini tradisi menulis berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih luwes dan demokratis. Setiap orang dengan smartphone di tangan bisa menjadi penulis, penerbit, bahkan editor sekaligus. Platform blog, media sosial, hingga aplikasi menulis menyediakan ruang bagi siapa saja yang ingin bercerita.

Meskipun ini demokratis, ada tantangan besar yang harus kita hadapi, yaitu bagaimana menulis agar tetap bermutu dan tidak terjebak dalam arus clickbait dan berita palsu. Ada tuntutan agar penulis jeli memilih topik, gaya bahasa yang menarik, serta cara penyampaian yang cepat ditangkap pembaca yang suka serba instan.

Menulis sebagai Bentuk Perlawanan dan Pengakuan

Dalam wawancara itu saya juga menegaskan pentingnya menulis sebagai bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap kepuasan instan yang ditawarkan media sosial, terhadap budaya ‘scrolling’ tanpa henti yang membuat kita lupa berpikir kritis. Menulis menjadi satu-satunya media yang mampu menghidupkan kembali ruang untuk refleksi, untuk pemikiran mendalam.

Selain itu, menulis juga merupakan cara kita mengukir jejak, mengakui keberadaan diri di tengah dunia yang terus berubah. Ketika tulisan saya diakui oleh TVRI, itu berarti sebuah bukti bahwa tradisi menulis yang saya pelihara tidak sia-sia. Bahwa meski dunia berubah, kata-kata tetap punya kekuatan.

Apa Maknanya untuk Generasi Muda?

Pertanyaan Maulidi saya rasa juga mewakili kegelisahan banyak generasi muda hari ini. Mereka hidup dalam lautan informasi, media visual yang bergerak cepat, dan tekanan sosial yang sangat kuat untuk selalu “up to date”. Namun, di tengah gelombang itu, menulis — terutama menulis panjang dan bermutu — mungkin terasa seperti barang kuno, atau alat komunikasi yang sudah usang.

Saya berharap, melalui pembicaraan ini, para generasi muda bisa memahami bahwa menulis bukan sekadar aktivitas akademik atau hobi yang membosankan, tapi sebuah seni sekaligus alat yang ampuh untuk mengendalikan arus informasi. Menulis mengajarkan kita untuk berpikir kritis, menyaring informasi, dan mengungkapkan ide secara terstruktur.

Digitalisasi dan Tantangan Menulis di Masa Depan

Kita tentu tidak bisa menolak bahwa dunia digital dan media sosial akan terus berkembang dan memberikan efek besar pada bagaimana kita memproduksi dan mengkonsumsi tulisan. Dengan kemajuan teknologi kecerdasan buatan, misalnya, di satu sisi ada kemudahan dalam menghasilkan konten, tapi di sisi lain muncul kekhawatiran tentang keaslian dan kualitas tulisan.

Sebagai penulis, kita harus bisa menyesuaikan diri dengan teknologi tanpa kehilangan jati diri. Menulis tetap haruslah sebuah proses kreatif yang mengandung pemikiran dan empati, bukan hanya sekadar manipulasi kata demi menarik perhatian algoritma.

Penutup: Menulis karena Cinta, Bukan Sekadar Algoritma

Wawancara dengan TVRI ini menjadi pengingat bagi saya dan kita semua bahwa menulis di era digital menjadi tantangan sekaligus peluang besar. Di tengah badai informasi dan distraksi, menulis yang sejati lahir dari keberanian untuk tetap berbicara, tetap berkarya, meski kadang sepi perhatian dan penuh kritik.

Dalam kata-kata saya kepada Maulidi, saya tekankan: “Jika menulis hanya untuk validasi, maka itu akan mati dengan cepat. Tapi kalau menulis karena cinta, ia akan hidup abadi, terus berkembang, dan mampu menyentuh banyak hati.” Sebab pada akhirnya, di balik semua algoritma dan tren digital, inti dari tradisi menulis adalah kejujuran pada kata, pada diri sendiri, dan pada pembaca.

Lewat tradisi menulis yang terus kita jaga dan kembangkan di era digital ini, saya percaya kita bisa membentuk komunitas pembaca dan penulis yang lebih cerdas, kritis, serta manusiawi. Dan siapa tahu, dari “warkop” sederhana saya ini, akan lahir gerakan literasi baru yang menginspirasi seluruh negeri.

Penulis: Eko Windarto

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri