Pamekasan, Sabtu (19 Juli 2025) – Ribuan jamaah memadati Pondok Pesantren Nurul Ulum Umar Zayadi Sumbernangka, Pamekasan, untuk menghadiri Tabligh Akbar yang menghadirkan ulama kondang, K.H. Dr. Abdul Somad Batubara, Lc., M.A., Ph.D. atau yang akrab disapa UAS. Acara yang merupakan puncak dari “Pekan Taklim” tahunan ini mengusung tema “Tahun Baru Hijriah, Semangat Baru untuk Mencetak Generasi Unggul Berakhlak Karimah Demi Menuju Indonesia Emas.”


Sambutan Ketua Yayasan: Harapan dan Kehadiran UAS

Acara dibuka dengan pembacaan sholawat Nabi yang menggema, menciptakan suasana khidmat. Ketua Yayasan Pondok Pesantren Nurul Ulum Umar Zayadi Sumbernangka, K.H. Abdul Mujib Suadi, S.E., dalam sambutannya menyampaikan rasa syukurnya atas kehadiran UAS.

“Sungguh rasa senang saya saat ini mengalahkan logika untuk bisa berkata-kata banyak,” ujar K.H. Abdul Mujib, mengungkapkan bahwa kehadiran UAS sudah sangat diharapkan sejak beberapa tahun lalu. Ia berharap dengan kedatangan dai internasional ini, Pondok Pesantren Nurul Ulum dan masyarakat sekitar akan mendapatkan berkah dari Allah SWT.

K.H. Abdul Mujib juga menjelaskan bahwa Pekan Taklim ini telah rutin dilaksanakan, bahkan sebelum pandemi, dan terus ditingkatkan pasca-pandemi untuk menjangkau masyarakat lebih luas. Ia berharap acara ini dapat tersiar hingga tingkat internasional, memberikan manfaat yang lebih luas bagi semua pihak yang terlibat.

Mengenang sejarah, K.H. Abdul Mujib menyampaikan bahwa Pondok Pesantren Nurul Ulum didirikan oleh kakeknya, K.H. Umar Zayadi. Nama “Umar Zayadi” ditambahkan untuk mengenang pendiri lembaga. Beliau menyebutkan bahwa yayasan ini kini dikelola oleh generasi ketiga, yang seragam hitamnya tampak di tengah jamaah, menandakan kesatuan dan perjuangan mereka demi Islam.

Pemilihan tema Tahun Baru Hijriah didasari oleh keprihatinan terhadap degradasi moral dan akhlak di tengah berbagai tantangan umat Islam saat ini. “Kami berharap nantinya Pak Kiai menyampaikan semangat, tambahan semangat kepada kita semua agar keunggulan-keunggulan yang akan dicapai oleh umat Islam nanti bisa dibarengi dengan akhlakul karimah sehingga Indonesia Emas di 2030 benar-benar menjadi emas yang nyata,” pungkasnya.


Pelajaran dari Hijrah: Musyawarah, Penempatan Orang yang Tepat, dan Pengorbanan

Ustad Abdul Somad sedang berdakwah.

UAS memulai ceramahnya dengan salam hangat dan menguji semangat jamaah. Ia menyampaikan terima kasih kepada para alim ulama, habaib, kiai, dan aparatur pemerintah yang hadir, termasuk Raden K.H. Ahmad Fauzi Tijani, Lc., M.A. (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan), yang disebutnya sebagai kakak kelas di Al-Azhar dan pendampingnya setiap kali ke Madura.

UAS memfokuskan ceramahnya pada tiga pelajaran penting dari peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW, sebagai bekal mencetak generasi emas berakhlak karimah menuju Indonesia Emas:

  1. Musyawarah sebagai Fondasi Keputusan:

UAS menekankan pentingnya musyawarah, mencontohkan Sayidina Umar bin Khattab dan para sahabat yang bermusyawarah untuk menetapkan Tahun Baru Islam. Ia mengutip firman Allah kepada Nabi Muhammad SAW, “Wasyawirhum fil amri” (bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu). Ini mengajarkan bahwa bahkan seorang pemimpin sekaliber Nabi pun diperintahkan untuk bermusyawarah, apalagi manusia biasa. “Siapa kita yang tidak mau bermusyawarah?” tantang UAS. Ia mencontohkan Pancasila sila keempat, dan bagaimana dalam demokrasi, presiden pun tidak bisa mengambil keputusan sembarangan tanpa melibatkan lembaga lain. Bahkan dalam kehidupan rumah tangga, suami harus bermusyawarah dengan istri. “Yang enggak perlu musyawarah itu adalah ngisi kotak infak. Itu enggak perlu musyawarah. Jadi begitu lewat isi aja langsung,” candanya disambut tawa jemaah.

  1. Penempatan Orang yang Tepat (The Right Man on The Right Place):

Pelajaran kedua dari Hijrah adalah menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat. UAS menguraikan peran strategis setiap sahabat dalam Hijrah:
* Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq: Pendamping utama Nabi di Gua Tsur.
* Sayidina Ali bin Abi Thalib: Tidur di tempat tidur Nabi menggantikan beliau, menanggung risiko terbesar.
* Abdullah bin Abi Bakar: Pembawa berita dan informasi penting.
* Asma binti Abu Bakar: Pembawa makanan.
* Amir bin Fuhairah: Bertindak sebagai mata-mata, menggembalakan kambing untuk menghapus jejak dan mengamati pergerakan musuh.
* Abdullah bin Uraiqid: Penunjuk jalan rahasia.

UAS menyoroti bahwa setiap peran, meskipun tidak selalu terlihat di depan, sangat krusial. Ia bahkan menyebut peran kameramen dan panitia yang bekerja di belakang layar sebagai contoh the right man on the right place, yang kontribusinya tak ternilai dalam menyiarkan dakwah ke seluruh dunia. “Jangan sepelekan orang lain, jangan meremehkan orang lain. Tanpa mereka kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa,” tegas UAS.

  1. Pengorbanan sebagai Pilar Kemajuan:

Pelajaran ketiga adalah kesiapan berkorban. UAS menceritakan kisah Sayidina Abu Bakar yang mendahului Nabi masuk ke dalam Gua Tsur untuk memastikan keamanan, siap mati demi melindungi Nabi dan risalah Islam. “Kalau saya yang mati, yang sedih hanya anak istri saya saja. Tapi kalau engkau yang meninggal ya Rasulullah, risalah Islam tidak akan sampai ke pulau Madura, ke pulau Jawa, ke pulau Sumatera,” tiru UAS, menggambarkan keikhlasan pengorbanan Abu Bakar.

Ia menegaskan bahwa generasi emas bukan hanya ahli ilmu agama, tetapi juga siap berkorban harta, perasaan, dan tenaga. UAS menyinggung pengorbanan para ibu dalam mengandung dan melahirkan, serta pengorbanan para kiai yang terus berjuang demi kelangsungan pondok pesantren. “Negeri ini bisa merdeka karena pengorbanan. Acara ini bisa terwujud karena pengorbanan. Sekarang manusia tidak mau lagi berkorban, maunya cuman mengorbankan hewan korban,” sentil UAS. Ia menggarisbawahi pentingnya empati, kemampuan merasakan perasaan orang lain, sebagai bagian dari pengorbanan.


Hikmah dalam Setiap Langkah Hijrah: Empati dan Dermawan

Sebagai penutup, UAS menceritakan kisah perjalanan Hijrah yang memakan waktu delapan hari delapan malam. Saat perbekalan habis, Nabi dan Abu Bakar singgah di tempat penggembalaan kambing milik orang Badui musyrik. Meskipun kafir, mereka menunjukkan kedermawanan. Ketika Nabi memegang kambing dan susu keluar melimpah, Abu Bakar membersihkan bagian bawah gelas agar tidak ada pasir yang mengotori pakaian Nabi saat minum. Yang menarik, setelah Nabi minum, Abu Bakar merasakan dahaganya hilang. Ini, kata UAS, adalah contoh nyata empati, di mana seseorang bisa merasakan perasaan orang lain hingga ke dalam hati. “Saya belum sampai pada level bisa merasakan perasaan orang lain,” aku UAS merendah.

Ceramah UAS di Pamekasan ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali nilai-nilai luhur Hijrah, menyerukan umat Muslim untuk membangun generasi yang berlandaskan musyawarah, penempatan individu yang tepat sesuai kompetensi, dan kesediaan untuk berkorban demi kemajuan bersama dan tegaknya agama. (*)

Penulis: Fim

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri