Anies Baswedan di ‘Dialektika Madilog’: Kasus Tom Lembong Cerminkan Problem Hukum Sistemik, Pejabat Kini Gamang Berinovasi

JAKARTA, – Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, kembali mengutarakan keprihatinannya terkait kondisi penegakan hukum di Indonesia, khususnya menyoroti kasus yang menimpa mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Tom Lembong. Dalam dialognya di acara “Dialektika Madilog Forum” yang tayang di kanal Forum Keadilan TV pada Kamis, 24 Juli 2025, Anies menyebut bahwa kasus Tom Lembong adalah bentuk “kriminalisasi” yang patut menjadi momentum koreksi bagi republik.
Dalam perbincangan tersebut, Anies mendefinisikan “orang pemberani” sebagai sosok yang tidak takut kehilangan jabatan. Kriteria ini, menurutnya, lekat pada diri Tom Lembong dan juga pengalaman yang pernah ia alami sendiri.
Kasus Tom Lembong: Korban Kriminalisasi Tanpa Niat Jahat
Anies secara lugas menyatakan bahwa Tom Lembong adalah korban kriminalisasi dalam kasus impor gula mentah. Ia menggambarkan Tom sebagai sosok berintegritas tinggi yang tidak menunjukkan rasa takut atau khawatir selama proses pemeriksaan, bahkan hadir sendirian tanpa pengacara.
“Memang saya enggak pernah bikin apa-apa,” tutur Anies menirukan ucapan Tom Lembong. Bahkan, di persidangan, hakim disebut menegaskan bahwa Tom tidak mengambil keuntungan finansial atau memiliki niat jahat (mens rea).
“Orang sebersih Tom Lembong saja ya bisa terjadi, gimana dengan yang lain?” tanya Anies, mengisyaratkan pesan negatif yang dikirimkan kepada para talenta terbaik bangsa.
Anies juga memuji ketegaran Tom Lembong selama di tahanan, yang justru memanfaatkan waktu untuk berolahraga dan berdiskusi tentang ekonomi Indonesia serta krisis global, alih-alih meratapi perkaranya. Ia menyebut Tom sebagai sosok yang sangat cerdas, produktif, berprinsip, lulusan Harvard yang memilih mengabdi di Indonesia, dan memiliki reputasi konservatif serta hati-hati di kancah investasi internasional.
Pengalaman Anies: 19 Kali Gelar Perkara Formula E yang Janggal
Tak hanya Tom Lembong, Anies juga berbagi pengalaman serupa terkait kasus Formula E saat ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ia mengungkapkan, kasus Formula E diproses hingga 19 kali gelar perkara, sebuah angka yang luar biasa tinggi dibanding rata-rata dua atau tiga kali. Padahal, laporan awal berasal dari pengaduan masyarakat (dumas), yang menurut standar umum memiliki bobot terendah.
“Inspektorat enggak ada masalah, BPK juga tidak ada masalah dan tidak pernah ada investigasi dari [KPK],” terang Anies.
Ia mengumpamakan proses ini seperti upaya mencari “kaca pecah” setelah terlebih dahulu menentukan “pelakunya”, sebuah logika terbalik dalam penegakan hukum. Ia bersyukur ada individu-individu berintegritas di dalam KPK yang berani menyatakan tidak ada bukti pidana.
Problem Sistemik dan Pesan Keliru Bagi Bangsa
Anies menegaskan bahwa kasus-kasus seperti ini mengirimkan “pesan yang keliru” kepada orang-orang baik di seluruh Indonesia, terutama kepada talenta muda yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri dan diharapkan kembali membangun bangsa.
Ia menyoroti bahwa Indonesia masih berada di bagian atas dalam ranking negara-negara korup. Ini membuat dunia internasional memandang kasus korupsi di Indonesia sebagai hal biasa. Namun, kasus Tom Lembong justru menjadi sorotan media internasional karena ia adalah figur yang bersih dan tidak pernah terkait kasus korupsi. “Apakah ada tersangka korupsi yang ditulis positif oleh media internasional? Ayo, enggak ada, kecuali Tom Lembong,” ujarnya.
Problem lain yang disorot Anies adalah ketidakpastian hukum akibat tumpang tindihnya regulasi, di mana satu aturan bisa bertentangan dengan yang lain. Hal ini membuat pelaku usaha domestik mencari “solusi non-hukum” dengan menempatkan pensiunan pejabat sebagai komisaris, sementara investor internasional menjadi enggan. Akibatnya, roda perekonomian nasional terhambat.
Fenomena ini juga menyebabkan pejabat atau birokrat menjadi gamang dalam mengambil keputusan penting. Mereka cenderung menghindari tanggung jawab karena takut dikriminalisasi, meskipun niatnya baik untuk kepentingan publik (seperti kasus impor gula untuk mencegah kelangkaan dan kenaikan harga).
“Lebih baik begini, enggak usah berbuat apa-apa… tapi kan aman,” sindir Anies, menggambarkan dilema yang dihadapi.
Seruan Perbaikan dan Konsistensi Prinsip
Anies menyerukan agar persoalan ini tidak dipandang secara personal oleh pemegang kewenangan saat ini, melainkan sebagai masalah sistemik yang sudah menahun.
“Jangan baper… Ini adalah problem yang sudah ada bertahun-tahun,” tegasnya.
Ia berharap kepemimpinan saat ini menjadikan peristiwa besar seperti kasus Tom Lembong sebagai “wake-up call” untuk perbaikan.
“Mari kita perbaiki toh. Ini problem bukan muncul bulan lalu kok,” ajaknya.
Dalam iklim demokrasi, Anies mengingatkan bahwa kekuasaan bersifat periodik. Oleh karena itu, perbaikan harus dilakukan sekarang agar sistem hukum yang bermasalah tidak menimpa siapa pun ketika kekuasaan berganti.
Ia menekankan perlunya kemauan serius untuk merumuskan masalah dengan melibatkan dunia usaha dan memastikan penegakan hukum sejalan dengan penegakan keadilan, melindungi mereka yang mengambil tanggung jawab dengan niat baik. (*)
Penulis: Fim