Jam Malam Anak di Surabaya: Strategi Komprehensif Melindungi Generasi Muda

SURABAYA, 4 Juli 2025 – Pemerintah Kota Surabaya memperkuat komitmennya terhadap perlindungan anak melalui kebijakan pembatasan jam malam bagi usia di bawah 18 tahun. Kebijakan yang berlaku efektif sejak 21 Juni 2025 ini membatasi aktivitas anak di luar rumah antara pukul 22.00 hingga 04.00 dini hari. Dirancang untuk membentengi anak-anak dari risiko kenakalan remaja yang kian kompleks, implementasinya mengedepankan pendekatan humanis, meski dihadapkan pada tantangan perilaku remaja dan dinamika komunikasi keluarga, seperti terungkap dalam dialog “Semanggi Surabaya” di Radio Suara Surabaya FM pada Jumat (4/7) hari ini.
Melindungi Hak Anak dan Menangani Kenakalan Remaja
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menegaskan bahwa pembatasan jam malam ini bukan untuk mengekang, melainkan mengoptimalkan empat hak dasar anak: hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi.
“Di hak perlindungan ini, kami berpikir bahwa Surabaya selalu memberikan pengoptimalan atau pemaksimalan mengenai hak perlindungan tersebut,” jelasnya melalui perwakilan pemerintah kota, Ida Widayati Kepala DP3A-PPKB.
Dengan menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif, anak-anak diharapkan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Kebijakan ini secara spesifik bertujuan untuk meredam kenakalan remaja seperti tawuran, pesta minuman keras, dan bergabung dengan geng motor. Namun, fenomena baru seperti “ngelem” (menghirup bau lem sebagai zat adiktif), kini marak di kalangan anak SD hingga SMP di Surabaya. Indra, perwakilan Forum Anak Surabaya, mengungkapkan keprihatinannya.
“Sangat menyedihkan karena ini adalah bentuk kurangnya kasih sayang orang tua, bentuk ketidakpedulian orang tua terhadap anak,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bagaimana media sosial kini menjadi medan baru bagi potensi kekerasan.
Pergeseran Pola Kenakalan: Peran Kritis Orang Tua dan Lingkungan Digital
Achmad Zaini, S.Sos, M.Si, Kepala Satpol PP Surabaya, dengan pengalaman lapangannya yang luas, memberikan perspektif menarik tentang perubahan pola kenakalan.
“Saya tidak sepakat kalau kondisi hari ini lebih baik daripada kemarin,” tegas Zaini, yang mengaku tumbuh di lingkungan Surabaya yang akrab dengan kenakalan di masa mudanya.
Menurutnya, peluang anak untuk berbuat nakal justru jauh lebih besar saat ini karena tidak harus keluar rumah. “Di gadget ini, di genggaman tangan kita, pilihannya ada dua: baik atau jelek,” jelasnya.
Kondisi ini menjadikan peran pengawasan orang tua semakin krusial. Meskipun belum banyak menemukan kasus miras seperti di masa lalu, Zaini mengakui masih sering menjumpai pasangan remaja yang tidak pulang ke rumah. Ia menduga fenomena ini dipicu oleh kurangnya kasih sayang dan komunikasi dalam keluarga, yang mendorong anak mencari pelarian di luar.
Pendekatan Humanis dan “Rumah Perubahan” sebagai Solusi

Pemerintah Kota Surabaya, melalui Satpol PP dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB), konsisten menerapkan pendekatan humanis dan edukatif dalam kebijakan jam malam. Patroli gabungan “Asuhan Rembulan”, melibatkan berbagai dinas terkait, menjadi garda terdepan.
Ketika menemukan anak di bawah umur yang masih berkeliaran, petugas akan menghubungi orang tua mereka. Jika orang tua mengizinkan dan kegiatan anak dianggap positif, mereka diperbolehkan. Namun, bagi yang tidak dapat dihubungi atau kedapatan berbohong, petugas akan mengantar anak langsung pulang ke rumah dan berkoordinasi dengan RT/RW setempat.
“Anggota kami itu juga menjadi orang tuanya mereka. Prinsipnya Bapak Wali Kota mengajak semua orang tua… untuk menjadi orang tua bagi mereka,” jelas Zaini, menggarisbawahi pendekatan yang mengedepankan sentuhan kasih sayang dan empati.
Ida Widayati, M.M, Kepala DP3APPKB Surabaya, menegaskan bahwa tujuan jam malam adalah melindungi anak, bukan membatasi kebebasan mereka. “Ini adalah kebijakan yang sangat bagus dari Bapak Wali Kota, yang benar-benar mewujudkan pemerintah kota hadir untuk memberikan pemenuhan hak anak,” ucapnya.
DP3APPKB juga mengelola “Rumah Perubahan”, fasilitas rehabilitasi non-militeristik yang baru beroperasi tahun ini. Anak-anak yang terjaring razia dengan kasus tertentu, seperti “ngelem” atau miras, akan dibawa ke sana untuk mendapatkan pendampingan psikologis dan spiritual selama tujuh hari.
“Sebagian besar anak-anak yang menunjukkan perilaku sosial menyimpang, sisi keagamaannya juga berkurang,” terang Ibu Ida.
Setelah dari Rumah Perubahan, anak-anak akan dipertemukan kembali dengan orang tua untuk edukasi mengenai pengasuhan yang lebih baik.

Dukungan Publik dan Ajakan Kolaborasi Komunitas
Meskipun terdengar seperti pembatasan, survei terhadap 44 warga Surabaya yang dilakukan Indra dari Forum Anak Surabaya, menunjukkan respons yang mayoritas positif terhadap kebijakan ini. Tingginya literasi informasi di kalangan warga Surabaya menjadi faktor kunci penerimaan kebijakan tersebut.
Hasil polling Radio Suara Surabaya menunjukkan 98% responden juga sepakat dan setuju dengan kebijakan jam malam ini.
Ada harapan agar kebijakan ini dapat diterapkan serentak di seluruh Jawa Timur untuk mencegah pergeseran lokasi kenakalan remaja ke wilayah lain.
Pemerintah Kota Surabaya juga mendorong peran aktif RT/RW melalui program Kampung Ramah Perempuan dan Anak untuk memantau anak-anak pasca-rehabilitasi.
Masyarakat diimbau untuk tidak ragu melaporkan kasus kenakalan remaja ke Hotline Puspaga UPTD Perlindungan Perempuan Anak, yang melayani konsultasi psikologis gratis bagi warga Surabaya.
Kasus-kasus seperti keluhan Bapak Sugianto (pendengar SSFM) dari Dupak Masjid, yang resah dengan sekelompok remaja bermain game online hingga dini hari di teras rumah warga, menunjukkan bahwa tantangan pengawasan masih besar. Kolaborasi antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang aman dan positif bagi tumbuh kembang anak-anak Surabaya menuju.
Penulis: Firnas, Jawa Timur