Berbagai pihak menuntut agar kenaikan tunjangan tidak diputuskan secara sepihak tanpa mempertimbangkan kondisi makro yang dihadapi rakyat. DPR dan pemerintah perlu membuka ruang diskusi yang transparan dan partisipatif. Tak hanya itu, anggaran negara harus diarahkan secara proporsional ke sektor-sektor krusial yang langsung menyentuh kehidupan rakyat miskin dan rentan.
Selain itu, penting bagi para wakil rakyat untuk menunjukkan empati dan integritas dengan memperlihatkan bahwa solidaritas mereka bersama rakyat sesungguhnya diutamakan. Menahan diri dari kenaikan tunjangan hingga ekonomi membaik adalah bentuk tanggung jawab moral yang mencerminkan kepemimpinan yang bijaksana.
Dalam kerangka besar keadilan sosial, dana yang dialokasikan untuk kenaikan tunjangan bisa dialihkan sebagian untuk program pelatihan keterampilan kerja, pemberdayaan UMKM, atau stimulus sektor informal yang terpuruk. Langkah-langkah semacam ini akan jauh lebih bermakna daripada sekadar menikmati peningkatan fasilitas pribadi di tengah derita rakyat.
Apa yang terjadi saat ini adalah panggilan keras bagi semua pemangku kebijakan untuk merefleksikan kembali peran dan fungsi mereka. Apakah mereka hadir sebagai pelayan yang membela nasib rakyat atau sebagai elit yang larut dalam kemewahan dan ketidakpekaan? Rakyat membutuhkan jawaban nyata, bukan pernyataan ambigu atau kebijakan jauh dari realita.
Ketika keadilan sosial terabaikan, ada risiko besar bagi stabilitas politik dan sosial bangsa. Krisis kepercayaan dapat melahirkan kegaduhan dan memperberat tantangan pembangunan nasional. Oleh karena itu, setiap kebijakan—termasuk soal tunjangan DPR—harus mengedepankan prinsip keadilan sebagai pondasi, bukan sekadar kepentingan pribadi atau kelompok.
Kini, saatnya untuk mengedepankan suara hati, untuk menghilangkan kesenjangan yang mengganjal, dan untuk memperteguh ikatan sosial yang pernah menjadi kekuatan bangsa. Dalam situasi ekonomi yang penuh ujian, DPR harus menjadi contoh kepemimpinan yang rendah hati, peka, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.
Dengan demikian, kenaikan tunjangan DPR bukan hanya persoalan angka dan hak, tetapi ujian integritas dan keberpihan hati para pengawal amanah negara. Sehingga, pada akhirnya, keadilan sosial bukanlah sekadar kata, tetapi nyata terwujud dalam setiap aspek kehidupan masyarakat—dari kelas pekerja yang terancam PHK hingga para wakil rakyat yang duduk di lembaga tertinggi legislasi negara.
Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memastikan bahwa setiap warganya hidup dengan martabat, dan bahwa keadilan sosial bukanlah utopia, melainkan cita-cita yang dapat dicapai bersama melalui kebijakan yang berani, bijaksana, dan berkeadaban.
Penulis: Ekowin