Jakarta, 21 Juli 2025 – Putusan empat tahun penjara dan denda Rp750 juta terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, terus memicu gelombang kontroversi di kalangan masyarakat dan praktisi hukum. Dalam episode terbaru podcast Akbar Faizal Uncensored yang disiarkan Senin (21/7), mengungkap berbagai kejanggalan hukum dan dugaan intervensi politik di balik vonis tersebut.

Acara yang dipandu Akbar Faizal secara daring dari London ini menghadirkan tiga narasumber terkemuka: Komisaris Jenderal Purnawirawan Ograseno (mantan Wakapolri 2013-2014), Saud Situmorang (mantan Wakil Ketua KPK 2015-2019), dan Heri Firmansyah (pakar hukum Universitas Tarumanegara).


Sorotan dari Meja Persidangan: Kejanggalan Unsur Pasal dan Proses Hukum

Ograseno, yang aktif mengikuti persidangan Thomas Lembong, menyoroti beberapa kejanggalan krusial dalam penerapan hukum. Menurutnya, konstruksi bangunan korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak dapat dipotong-potong. Ia mempertanyakan mengapa unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dianggap sebagai alternatif dan tidak memerlukan aliran dana, sementara Pasal 2 digunakan untuk vonis meskipun tempo delicti lebih relevan dengan Pasal 3 yang mengatur penyalahgunaan wewenang.

“Ketika Kejaksaan Agung mengatakan tidak perlu ada aliran dana itu sudah salah, dan hakim yang menyatakan kerugian keuangan negara sebagai unsur alternatif, itu juga salah,” tegas Ograseno. Ia menambahkan bahwa putusan tersebut cenderung didasarkan pada pelanggaran peraturan menteri, yang seharusnya diselesaikan secara administratif, bukan pidana. “Unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi tidak terbukti, sehingga penerapan Pasal 2 atau 3 pada Pak Tom Lembong sangat aneh,” imbuhnya. Ograseno menyimpulkan, kasus ini terkesan dipaksakan.


Saud Situmorang (mantan Wakil Ketua KPK 2015-2019).

Jeratan Kebijakan dan Aroma Politik: Kritik Pedas dari Eks Pimpinan KPK

Saud Situmorang mengungkapkan kekhawatirannya terhadap tren “kriminalisasi kebijakan”. Ia menekankan bahwa selama menjabat di KPK, lembaganya sangat berhati-hati dalam menangani kasus di mana kerugian negara ada tetapi tidak disertai kickback atau tidak jelas “mens rea” dan “actus reus”-nya.

“Pasal 2 dan 3 Tipikor ini memang pisau bermata dua. Bisa benar-benar menyasar penyelenggara negara, tapi juga bisa digunakan tanpa ada “mens rea” dan “actus reus” yang jelas,” ujar Saud. Ia menyoroti inkonsistensi dalam penghitungan kerugian negara yang didasarkan pada selisih harga gula setelah rafinasi, bukan kerugian riil.

Yang lebih mengkhawatirkan, Saud melihat adanya nuansa politik yang kental dalam putusan tersebut. Ia mengaitkan putusan ini dengan pandangan hakim yang menyentuh ranah filosofis, seperti “ekonomi kapitalis.” “Saya yakin Anda akan tertawa kalau ikut di sana, ketika Rocky dan seterusnya bilang ini bicara kapitalis. Saya bilang, hakim ini lama-lama bisa menghukum Pak Prabowo dengan koperasi desa yang 8.000,” celoteh Saud, mengacu pada perdebatan absurd mengenai ideologi ekonomi.

Ia juga menyoroti data total impor gula yang menunjukkan Thomas Lembong memiliki volume impor jauh lebih rendah dibandingkan menteri-menteri perdagangan sebelumnya, namun hanya dialah yang dihukum. “Ada lima orang yang melakukan yang sama, cuma satu yang dikenakan. Naif jika kita bilang ini tidak ada persoalan residu dari Pilpres kemarin,” tegas Saud, menyiratkan adanya dugaan “balas dendam politik”.


Pertarungan Logika Hukum: Ketika Aturan Sendiri Menjerat

Heri Firmansyah dari Universitas Tarumanegara menekankan pentingnya “logika hukum” dalam kasus-kasus korupsi, terutama yang menyangkut kebijakan. Ia mengkritik kriteria yang “absurd” dalam menentukan kebijakan mana yang dapat dipidanakan. Menurutnya, penggunaan Pasal 2 dan 3 sebagai ‘pasal sapu jagat’ membuat posisi tersangka atau terdakwa menjadi “tidak equal”, karena apa pun yang dikatakan penyidik atau jaksa seolah pasti benar.

Heri Firmansyah (pakar hukum Universitas Tarumanegara).

“Ada beberapa undang-undang yang bahkan membunyikan bahwa tindakan pejabat terkait kebijakan tidak boleh dipidana. Ini berbahaya jika hukum justru menjerat pejabat yang menjalankan perintah,” jelas Heri. Ia juga menyoroti keanehan bahwa Thomas Lembong divonis berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan yang notabene ia buat sendiri. “Ibaratnya buat keris ditusuk pakai kerisnya sendiri,” canda Heri.

Heri juga mempertanyakan tafsir “keuntungan bagi pihak lain” dalam undang-undang. “Mungkinkah seseorang mengeluarkan kebijakan semata-mata demi kepentingan orang lain? Ini perlu dijawab untuk menemukan ada tidaknya niat jahat (dolus malus),” katanya. Ia juga mengkritik substansi Pasal 2 dan 3 Tipikor yang dinilainya bermasalah, karena orang yang tidak punya kewenangan justru dihukum lebih berat daripada yang punya kewenangan.

Diskusi ini menggarisbawahi perlunya kejujuran dalam sistem peradilan pidana dan pentingnya reformasi hukum, khususnya terkait tafsir pasal-pasal korupsi yang multitafsir. Kasus Thomas Lembong membuka lembaran baru dalam perdebatan hukum dan politik di Indonesia, di mana batas antara kebijakan dan tindak pidana menjadi semakin kabur.

Komisaris Jenderal Purnawirawan Ograseno (mantan Wakapolri 2013-2014),

Bagaimana menurut Anda, apakah kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi para pengambil kebijakan di masa mendatang?

Penulis: Fim

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri