Di ruang publik yang penuh dinamika, nada yang mengalun bukan sekadar bisikan biasa, tapi adalah gema lantang dari rakyat yang gelisah. Di saat para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerima kabar kenaikan tunjangan yang mengiringi jabatan mereka, di tempat lain masyarakat bergulat dengan realita kehidupan yang kian sulit. Kenaikan tunjangan ini, secara simbolis atau nyata, bukan cuma soal angka—melainkan soal makna keadilan dan sejauh mana semangat keadilan sosial dirasakan.
Kita hidup dalam negara yang menganut prinsip demokrasi dan keadilan sosial sebagai landasan ideologi. Namun, ketika besaran tunjangan pejabat legislatif naik, sementara harga kebutuhan pokok, akses pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja masih menjadi beban berat bagi banyak keluarga, pertanyaan mendasar muncul: Benarkah keadilan sosial sudah terwujud?
Kenaikan tunjangan DPR, terlepas dari alasan birokrasi atau kebutuhan kesejahteraan pejabat negara, dapat menjadi semacam cermin tajam yang memantulkan kenyataan ketimpangan yang ada. Di satu sisi, para wakil rakyat menikmati peningkatan kesejahteraan yang mencolok, sementara di sisi lain jutaan rakyat berjuang melewati hari-hari penuh ketidakpastian ekonomi. Ini bukan sekedar soal materi, namun sebuah panggilan moral yang menuntut perhatian lebih dalam.
Apa arti sebuah tunjangan jika tidak diiringi oleh kinerja yang nyata dan transformasi sosial yang berkelanjutan? Apakah kenaikan tunjangan menjadi sebuah legitimasi bagi perubahan positif, atau malah menjadi beban bagi kepercayaan rakyat? Ini bukan kritik kosong; ini adalah desakan agar setiap rupiah yang diterima oleh wakil rakyat dapat dilihat sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan bukan hanya di depan hukum, tetapi di hadapan nurani publik.
Di saat sama, keadilan sosial bukan hanya soal distribusi kekayaan secara adil, tetapi juga soal kesempatan yang merata, perhatian bagi mereka yang tertinggal, dan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan bersama. Rakyat butuh lebih dari sekedar janji; mereka butuh bukti—bukti bahwa suara mereka didengar, dan aspirasi mereka dihargai.
Media sosial menjadi arena ekspresi massa yang tak bisa diabaikan. Sorotan tajam mengarah pada wakil-wakil rakyat yang dinilai jauh dari realita hidup sehari-hari masyarakat. Kritik membahana dengan narasi bahwa kenaikan tunjangan adalah bentuk ketidakpekaan dan memicu semakin dalamnya kesenjangan sosial.
Namun, cermati lebih dalam, tuntutan ini bukan sekadar soal angka. Ia adalah seruan akan pemerintahan yang transaparan, akuntabel, dan responsif. Pemerintah dan DPR harus membuka dialog konstruktif tentang bagaimana kebijakan kesejahteraan pejabat publik harus selaras dengan kemajuan rakyat dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Penulis: Ekowin