Pasuruan – Julukan “Kota Santri” yang melekat pada Pasuruan bukan sekadar label, melainkan sebuah amanah dan tanggung jawab sosial. Demikian disampaikan oleh Walikota Pasuruan, H. Adi Wibowo, S.T.P, M.Si, dalam sebuah kajian Ahad pagi (20/7/2025) di Masjid Darul Arqom yang menggarisbawahi pentingnya menyelaraskan identitas religius dengan implementasi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai seorang putra santri dan kepala daerah, H. Adi Wibowo merasakan betul beban dan kehormatan yang diemban Pasuruan sebagai “Kota Santri”. Menurutnya, julukan ini tidak muncul tiba-tiba, melainkan berakar kuat pada pendekatan sosiologis, historis, dan antropologis yang didasari oleh spirit religius sejak awal.

Lebih dari Sekadar Simbol: Mengacu pada Madinah Rasulullah

H. Adi Wibowo menegaskan bahwa konsep “Kota Santri” tidak berarti eksklusif bagi satu agama. Ia justru mengacu pada konsep Kota Madinah di zaman Rasulullah SAW, di mana mayoritas Muslim mampu melindungi dan berlaku adil terhadap umat agama lain dalam interaksi sosial, ekonomi, dan hukum. Ini sejalan dengan visi pemerintah kota untuk mendorong Pasuruan tidak hanya dalam konteks simbol sebagai “Kota Santri”, melainkan secara substansi.

Walikota yang sedang melaksanakan riset sekolahnya tentang kehidupan sosial ini menyoroti fenomena di mana banyak daerah atau negara yang tidak secara eksplisit mengidentifikasi diri dengan simbol keagamaan, namun secara substansi kehidupannya justru lebih islami. Ia mencontohkan Singapura, yang meskipun tanpa jargon agama, dikenal karena keramahan masyarakat dan tingkat kebersihan yang tinggi. “Apakah ramah itu bukan menjadi bagian kehidupan yang diajarkan Islam, yang diajarkan sebagai kehidupan santri?” tanyanya retoris.

Tantangan Konvergensi: “Kebersihan Sebagian dari Iman” dalam Praktik

H. Adi Wibowo mengakui tantangan terbesar saat ini adalah mensinkronkan antara hal yang simbolik dengan hal yang substantif. Slogan sederhana seperti “An Nadzafatu Minal Iman” (Kebersihan adalah Sebagian dari Iman) memang mudah diucapkan, tetapi implementasinya masih menjadi pekerjaan rumah.

“Kebaikan-kebaikan apapun itu tentu harus dimulai dari diri sendiri,” tegasnya. Di Kota Pasuruan, kampanye sosial tentang kebersihan terus dilakukan melalui berbagai pendekatan sosiologis, salah satunya dengan menciptakan lagu dan senam “Pasuruan Resik”. Walikota menekankan bahwa pesan utama dari inisiatif ini adalah pentingnya kebersihan lingkungan di semua lapisan masyarakat, bukan sekadar hiburan semata.

Suasana Pengajian Ahad.

Ia juga menyinggung beberapa insiden yang ia saksikan sendiri—mulai dari tarif parkir yang melampaui batas hingga oknum yang membuang sampah sembarangan di sungai setelah Subuh. “Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa sebenarnya pada konteks kita, pemahaman keagamaan kita, pemahaman keislaman kita ini banyak yang masih terjebak pada hal-hal yang simbolik, tapi setelah substantif keadaan kita abai,” kritiknya.

Pembangunan Manusia dan Tantangan Era Digital

Walikota menegaskan bahwa pembangunan kota yang paling sulit bukanlah infrastruktur fisik, melainkan pembangunan manusianya, pembangunan sosialnya. “Kalau bangun fisik insyaallah lebih mudah… tapi bangun orang yang bangun jembatan, bangun orang yang bangun jalan itu lebih sulit,” ungkapnya. Ini sejalan dengan tantangan era 4.0 bahkan 5.0, di mana masyarakat semakin tidak independen namun saling bergantung. Ia mencontohkan bagaimana masalah pangan di negara lain dapat mempengaruhi harga di Pasuruan, menunjukkan dinamika global yang kompleks.

H. Adi Wibowo juga mengingatkan tentang fenomena “era post-truth” di mana kebohongan yang terus direproduksi dapat seolah menjadi kebenaran. Pentingnya tabayyun (mencari kejelasan) dan peran teknologi, termasuk Artificial Intelligence (AI) yang mampu memanipulasi informasi, menjadi krusial.

Pendidikan sebagai Kunci: Belajar dari Muhammadiyah

Untuk menghadapi tantangan ini, Walikota menekankan penguatan dari sisi pendidikan keagamaan. Ia memuji “Muhammadiyah” sebagai organisasi yang konsisten dan istiqomah dalam amal usaha di bidang pendidikan dan kesehatan, menjadi teladan kemandirian bagi organisasi lain dan bahkan pemerintah. “Muhammadiyah ini betul-betul salah satu ormas di dunia yang paling kaya,” ujarnya, merujuk pada aset perserikatan yang tercatat atas nama waqaf.

Meskipun Kota Pasuruan masih banyak bergantung pada transfer dana dari pusat, Walikota menegaskan bahwa mimpi mewujudkan Pasuruan MADINA (Maju, Aman, Damai, Indah, dan Harmoni) tidak hanya bisa diemban oleh pemerintah. Ini membutuhkan kolaborasi semua pihak, memastikan infrastruktur fisik dan sosial berjalan seiring. Ia mencontohkan bagaimana fasilitas umum seperti alun-alun dan Taman Sekargadung yang telah dibersihkan dan dilengkapi sarana olahraga, kini dipenuhi masyarakat, menunjukkan adanya motivasi positif dari warga.

“Maju ini harus dimaknai bagaimana kehidupan sosialnya, pendidikannya, ekonominya semakin maju, kita lihat dengan apa? Tentu indeks kehidupannya yang semakin meningkat, usia produktifnya yang semakin meningkat, angka harapan hidupnya yang semakin meningkat,” jelasnya, bangga dengan angka harapan hidup di Pasuruan yang kini mencapai 73 tahun.

Namun, ia juga tidak menampik bahwa tantangan masih ada, seperti tingkat kriminalitas dan masalah kesadaran kepemilikan. “Inilah hari ini masih terjadi di sekitar kita, makanya itu menjadi tanggung jawab sosial kita juga bagaimana kesadaran religius kita, spirit keagamaan kita ini kita letakkan pada kehidupan yang nyata,” tutupnya, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan Pasuruan yang benar-benar madani. 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

Selamat Hari Raya
Selamat Hari Raya Idul Fitri